Muslim Jaya: Salah Alamat Terapkan Pidana Korporasi di Kasus Eni Saragih
Muslim mengatakan, meski keduanya berbadan hukum, Parpol tidaklah sama pengertiannya dengan korporasi sebagai badan hukum.
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Badan Hukum Dan HAM (Bakumham) DPP Partai Golkar Muslim Jaya Butar butar menegaskan, penerapan tindak pidana korporasi tidak bisa digunakan dalam kasus Eni Saragih yang diduga menerima aliran dana untuk Munas Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar dari sumber PLTU 1 Riau.
"Tindak pidana koorporasi tidak bisa digunakan dalam kasus ini. Karena Partai politik itu beda dengan perusahaan," tegas Muslim Jaya Butar butar dalam keterangan persnya, Senin (3/09/2018).
Baca: Porsche Mulai Produksi The New Macan di Pabrik Stuttgart
Muslim mengatakan, meski keduanya berbadan hukum, Parpol tidaklah sama pengertiannya dengan korporasi sebagai badan hukum.
Sebab, menurutnya, parpol adalah organisasi nasional yang dibentuk sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas persamaan kehendak dan cita cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik.
"Jelas beda pengertian secara pilosofi badan hukum partai politik dengan badan perusahaan," katanya.
Selain itu kata dia, Badan hukum koorporasi tunduk kepada Undang-undang Perusahaan Terbatas sementara badan hukum parpol tunduk kepada Undang-undang parpol.
Dengan demikian kata dia, asumsi maupun persepsi yang hendak menerapkan tindak pidana koorporasi dalam kasus dugaan aliran dana untuk Munaslub Partai Golkar adalah persepsi yang ngawur. "Itu Tendensius dan berlebihan," katanya.
Muslim yang juga Wasekjen Pimpinan Pusat Kolektif (PPK) Kosgoro 57 ini mengatakan, parpol dan perusahaan itu berbeda sekalipun keduanya punya statua berbadan hukum.
"Karena partai politik dengan kader bukan seperti perusahan dengan karyawan yang mempunyai hubungan kerja antara koorporasi dengan karyawan, maupun pemberi kerja atau penerima kerja. Perusahaan tujuannya mencari untung atau laba sebesar besaranya, sementara parpol dibentuk tujuannya bukan untuk itu," tegas Caleg Partai Golkar di tingkat DPRD Provinsi Jabar ini.
Diterangkan, batasan tindak pidana koorporasi jelas ada hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja, serta status hubungan kerja, juga sebagai karyawan.
"Dalam kontek kasus Eni Saragih sangatlah jauh disebut sebagai tindak pidana korporasi, apalagi Partai Golkar secara institusi tidak mengetahui apa yang dilakukan kader, tidak ada perintah dari partai untuk melakukan perbuatan yang korup," tegasnya.
Menurutnya, apabila ada kader yang melakukan korupsi, jelas itu tindakan pribadi yang tidak bisa dipersepsi sebagai perbuatan partai politik.
Tidak asal bicara
Muslim juga meminta semua pihak untuk tidak asal bicara penerapan tindak pidana korporasi dalam kontek kasus Eni Saragih yang diduga ada aliran dana untuk Munaslub Partai Golkar.
"Saya sangat menyayangkan statemen petinggi KPK yang berbicara asbun untuk menerapkan tindak pidana korporasi dalam kasus aliran dana Munaslub partai Golkar yang diduga berasal dari kasus PLTU 1 Riau."
Muslim menegaskan, tidak bisa semua di generalisasikan dan tidak bisa dipersepsi bahwa kader yang melakukan pidana korupsi maka itu perintah partai.
Karena, kata dia, secara kelembagaan Golkar tidak pernah memerintahkan kadernya untuk melakukan korupsi. "Ketum Golkar Pak Airlangga Hartarto secara tegas telah menyatakan tidak pernah memerintahkan kadernya melakukan pengamanan maupun menerima aliran dana dari PLTU 1 riau," katanya.
Dia mengingatkan, agar DPP Partai Golkar waspada akan adanya upaya pecah belah Partai Golkar maupun strategi pembusukan partai Golkar yang dilakukan oknum-oknum tertentu demi kepentingan politik tertentu.