Rupiah Melemah, Tapi Indikator Perekonomian Indonesia Kokoh
Trend penurunan nilai mata uang rupiah berbanding dolar AS yang saat ini terjadi tidak akan mencapai titik krisis moneter seperti tahun 1998.
Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Trend penurunan nilai mata uang rupiah berbanding dolar AS yang saat ini terjadi tidak akan mencapai titik krisis moneter seperti tahun 1998.
Pemerintah tidak panik, tetapi lebih mawas diri dalam mengobservasi data market Indonesia serta berbagai perkembangan terkini di dunia internasional.
Pernyataan itu ditegaskan Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Denni Puspa Purbasari dalam DBS Asian Insight Seminar bertema ‘A Look into Stability and Sustainability: Political and Economic Perspective’ di Jakarta, baru-baru ini.
Denni juga menekankan Indonesia memiliki pengalaman sebagai negara yang pernah mengalami krisis-krisis sebelumnya.
“Karena itu percayalah, pemerintah dapat melakukan aksi pencegahan agar kita tak jatuh dalam krisis,” katanya dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com.
Kamis, 6 September 2018 pagi tadi, dalam perbincangan di MNC Trijaya FM Jakarta bersama Doudy Joun Tatipang, Denni juga menggarisbawahi agar masyarakat tidak perlu panik dan reaksioner menghadapi kondisi ini.
“Situasi Indonesia ini jauh berbeda dibandingkan kondisi pada 1998 atau 2008. Satu hal yang pasti bahwa pada saat ini cadangan devisa kita jauh lebih kuat, lima kali lebih kuat dibanding 1998,” kata Denni.
Hal positif lain menurut Denni, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya aliran masuk modal asing mencapai 4,5 miliar Dolar AS ke Indonesia.
“Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga solid serta peringkat surat utang pemerintah tidak masalah, sehingga kita masuk dalam investment grade yang bagus atau layak investasi menurut lima lembaga pemeringkat ekonomi,” ungkapnya.
Tak kalah penting adalah independensi Bank Indonesia.
“Ini beda dengan intervensi yang dilakukan pemerintah Turki dan Argentina terhadap bank sentralnya, sehingga ada hambatan ketika bank sentral ingin menaikkan suku bunga, misalnya,” kata Denni.
Denni menegaskan, Pemerintah tidak bersikap santai menghadapi situasi ini. “Pemerintah sangat mawas akan hal ini, dengan menguatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan juga Otoritas Jasa Keuangan,” urainya.
Juga tak kalah penting menurut Denni, Indonesia memiliki hubungan cukup baik dengan bank sentral negara lain seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Australia.
“Kita punya bilateral soft arrangement, jadi saat misalnya kita butuh dolar, kita bisa minta bank sentral negara-negara itu untuk memback-up, walaupun cadangan devisa kita saat ini ada 118 Milar Dolar AS,” jelas doktor ekonomi lulusan University of Colorado itu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.