Waspadai Pola Radikalisme Suriah di Indonesia
Ganti sistem inilah yang juga disuarakan oleh bekas Jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ia menduga yang dimaksud tergabung dalam gerakan
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Gerakan-gerakan yang berusaha menjadikan Indonesia berpotensi hancur seperti Suriah harus terus diwaspadai. Salah satu upaya men-Suriah-kan Indonesia ini tampak dari slogan mengganti pemerintahan yang sah seperti yang dilakukan gerakan #2019GantiPresiden.
Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik Timur Tengah, M. Najih Arromadoni, Senin (10/9/2018). Dalam pernyatannya dikatakan, misi utama kelompok radikal yang mengacaubalaukan Suriah adalah meruntuhkan sistem yang ada dan menggantinya dengan khilafah.
Ganti sistem inilah yang juga disuarakan oleh bekas Jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ia menduga yang dimaksud tergabung dalam gerakan #2019GantiPresiden.
“Khilafah bagi mereka layaknya 'lampu ajaib' yang bisa memberi apa saja dan menyelesaikan masalah apa saja. Tidak sadar bahwa berbagai kelompok saling membunuh dan berperang di Timur Tengah karena sedang berebut mendirikan khilafah, dan ujungnya adalah kebinasaan,” kata Najih.
Alumnus Universitas Ahmad Kuftaro Damaskus ini mengatakan pola gerakan #2019GantiPresiden mempunyai fungsi yang sama dengan gerakan kelompok makar di Suriah yang menginginkan mengganti sistem dan turunnya Presiden Bashar Al Assad.
“Saat kelompok makar di Suriah berusaha meruntuhkan sistem dan pelaksana negara, mereka mengkampanyekan slogan al-sha'b yurid isqat al-nizam (rakyat menghendaki rezim turun) dan irhal ya Basyar (turunlah Presiden Basyar). Slogan dengan fungsi yang sama di-copy paste oleh jaringan mereka di Indonesia, jadilah gerakan dan tagar #2019GantiPresiden,” ujarnya.
Sebelum gerakan #2019GantiPresiden, Najih menjelaskan, pola-pola ingin men-Suriah-kan sudah lebih dulu dilakukan dengan politisasi agama.
“Indikasi menguatnya penggunaan kedok agama demi kepentingan kekuasaan, sebagaimana pernah dilakukan di Suriah, terlihat dalam banyak hal, di antaranya adalah penggunaan masjid sebagai markas keberangkatan demonstran,” ujarnya.
“Jika di Damaskus masjid besarnya Jami' Umawi, maka di Jakarta Masjid Istiqlal. Adakah yang pernah menghitung, berapa kali Masjid Istiqlal diduduki pelaku berangkat demonstrasi?” ujarnya.
Selain politisasi agama, lanjut Najih, pola gerakan men-Suriah-kan Indonesia juga berupaya menghilangkan kepercayaan kepada pemerintah dengan terus-menerus menebar fitnah murahan, bukan kritik yang konstruktif, terhadap pemerintah. Menurutnya, sesekali Presiden Basyar al-Assad dituduh Syiah, sesekali dituduh kafir, dan pembantai Sunni.
“Dalam konteks Indonesia, Anda bisa mengingat-ingat sendiri, presiden Indonesia pernah difitnah apa saja, mulai dari Kristen, Cina, Komunis, anti-Islam, mengkriminalisasi ulama, dan sederet fitnah lainnya,” ujarnya.