Kata Pengamat Hukum Ini Mahkamah Agung Timbulkan Kesan Pro Koruptor
Pengamat hukum C Suhadi menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan mantan narapidana kasus korupsi berhak daftar sebagai bacaleg.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum C Suhadi menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan mantan narapidana kasus korupsi berhak mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota legislatif (bacaleg).
Ia menilai, MA tidak sejalan dengan upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak mantan koruptor berpartisipasi di dalam pemilihan legislatif (pileg) 2019.
"Itu artinya MA masih memakai cara-cara lama dan tidak ada keinginan membenahi negara ini dari bahaya korupsi," ujar Suhadi, Minggu (16/9/2018).
Suhadi merasa prihatin terhadap putusan tersebut. Apa yang diputuskan MA, kata dia, menimbulkan kesan lembaga peradilan itu, melindungi pelaku tindak pidana korupsi.
Padahal, lanjut dia, akibat para pelaku korupsi, masyarakat telah terzalimi dan kemajuan sebuah negara menjadi terhambat.
Selain itu, dia meminta, partai politik untuk komitmen mendukung pelarangan mantan koruptor, bandar narkoba, dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak mendaftarkan diri sebagai bacaleg.
Tiga partai politik tidak mengajukan mantan narapidana korupsi sebagai bacaleg. Tiga parpol tersebut, yaitu PPP, PSI dan PKB. Selain itu, NasDem juga dianggap mempunyai komitmen mencegah dan memberantas korupsi.
"Agar negara ini benar-benar terbebas dari para pelaku korupsi. Jika tidak, dikuatirkan caleg koruptor yang ikut kontentasi pileg setelah terpilih akan melakukan hal sama di kemudian hari," tambah kader Partai Nasional Demokrat itu.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) memutus uji materi Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019.
Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan MA mengabulkan uji materi dua Peraturan KPU (PKPU) tersebut. Sehingga, mantan narapidana dalam kasus tersebut boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg).
"PKPU itu sudah diputus, dan putusannya untuk napi pidana. Permohonan pemohon itu dikabulkan, menjadi kembali dalam ketentuan undang-undang," kata Suhadi, Jumat (14/9/2018).
Dia menjelaskan, kedua PKPU itu dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Aturan menyebutkan “bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
"PKPU dibatalkan oleh MA, jadi undang-undang mengatur membolehkan mereka menjadi calon walau setelah 5 tahun," kata dia.
Selain itu, kata dia, materi kedua PKPU itu, bertentangan dengan Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016, yang telah memperbolehkan mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif, sepanjang yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa dirinya merupakan mantan terpidana.
"Oleh putusan MK dihapuskan asalakan mengumumkan kepada publik, dan putusan MA mengembalikan kepada undang-undang, PKPU itu betentangan dengan undang-undang," tambah Suhadi.
Adapun, majelis hakim yang memeriksa permohonan ini terdiri dari tiga hakim agung yakni Irfan Fachrudin, Yodi Martono, Supandi dengan nomor perkara 45 P/HUM/2018 yang dimohonkan Wa Ode Nurhayati dan KPU sebagai termohon.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.