Komisi IX Berusaha Luruskan Permasalahan IFI atas Perdir BPJS Kesehatan
Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) beranggapan, Perdir itu tidak mengakomodir pelayanan fisioterapi bagi masyarakat.
Editor: Content Writer
Terbitnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Nomor 05 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik dalam Program Jaminan Kesehatan ternyata menimbulkan persoalan.
Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) beranggapan, Perdir itu tidak mengakomodir pelayanan fisioterapi bagi masyarakat.
Atas alasan itu, IFI mengadukan masalah tersebut kepada Komisi IX DPR RI. Ketua Komisi Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi beserta para Anggota Komisi IX DPR RI yang hadir pada RDPU di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (08/10/2018), berusaha meluruskan dan membatu persoalan IFI atas Perdir BPJS Kesehatan itu.
“Kami bisa mengetahui, kedatangan bapak-bapak dan ibu-ibu ke sini, adalah ingin menjelaskan kesalahan persepsi pemahaman, sehingga akibatnya para ahli fisioterapi ini seolah-olah menjadi pada posisi yang terbelakang. Kurang lebih seperti itu. Sehingga perlu diluruskan kejelasannya," papar Dede saat memimpin RDPU dengan IFI itu.
Sebelum ada Perdir BPJS Kesehatan Nomor 05 Tahun 2018, dokter jantung, dokter saraf, dokter ortopedi, dokter interna boleh memberikan rujukan kepada pasien yang membutuhkan layanan fisioterapi.
Tetapi Ketika ada Perdir tersebut, hanya Dokter Rehabilitasi Medik atau SpKFR yang bisa memberikan rujukan. Dede memahami keinginan IFI agar Perdir tersebut bisa diubah.
“Nampaknya kita sudah mulai mendapatkan pemahaman. Bahwa permasalahannya, keinginan dari kawan-kawan ini, Perdir tadi diubah untuk memasukkan konsep fisioterapi tidak harus melalui rehab medik. Walaupun sebetunya ini adalah domainnya pemerintah, tapi ini kita mendengarkan masukan dari bapak-bapak semua," ungkap Dede, usai RDPU.
Dalam kesempatan itu, Ketua Umum Ikatan Fisioterapi Indonesia Ali Imron menyampaikan, akar masalahnya BPJS Kesehatan tidak memahami kompetensi masing-masing tenaga kesehatan. BPJS Kesehatan memahami pelayana fisioterapi dianggap hanya bagian dari pelayanan Dokter Rehabilitasi Medik (SpKFR).
“Keputusan BPJS mewajibkan harus lewat SpKFR itu memang menimbulkan masalah, karena sesungguhnya, tidak semua pasien fisioterapi itu harus kategori rehabilitasi. Mislanya kalau dari dokter sarap dia fertigo, itu kita sebut sebagai kondisi non rehabilitasi,” jelasnya.
Sementara itu, Dokter Fisioterapi dari Rumah Sakit Daerah Makassar Muliyadi mengungkapkan, pada saat Perdir ini diberlakukan oleh BPJS Kesehatan, di Sulawesi Tenggara tidak ada satu pun Dokter Spesialis Fisik dan Rehabilitasi (SpKFR).
Sedangkan di dalam Perdir itu diisyaratkan bahwa pelayanan fisioterapi bisa diklami oleh BPJS Kesehatan ketika melalui asesment dari SpKFR.
“Yang terjadi bahwa, akses untuk mendapatkan layanan fisioterapi, itu memang harus melalui SpKFR. Itu yang terjadi. Nah di daerah khususnya di Sulawesi Tenggara itu tidak ada sama sekali dokter spesialis SpKFR. Jadi tidak ada pelayan bisa kerja. Jadi walaupun fisioterapi melakukan pelayanan tetap tidak diklaim oleh BPJS," ungkap Ali.(*)