Kasus JICT dan TPK Koja Cepat Tuntas Jika Pemegang Otoritas Bersikap Tegas
Kasus JICT dan Koja dapat menjadi alat untuk mengukur bagaimana pemerintah mengelola negara
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Kasus perpanjangan kontrak Hutchison Port Holdings (HPH) di Jakarta International Container Terminal (JICT) dan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja di Pelabuhan Tanjung Priok harus diselesaikan segera.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya dapat segera menuntaskan kasus korupsi kontrak yang melibatkan pelaku lintas negara ini.
"Kasus JICT dan Koja ada unsur kerugian negara, jadi KPK jangan terkesan mendiamkan. Publik bisa menilai KPK tebang pilih dalam memberantas korupsi," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (UNAS) Ismail Ramadhan dalam keterangan pers, Rabu (24/10/2018).
Ia menyatakan, kasus JICT dan Koja dapat menjadi alat untuk mengukur bagaimana pemerintah mengelola negara.
"BUMN itu milik negara, maka publik pasti mencermati sikap yang diambil pemerintah. Jika (pemerintah) diam, masyarakat bisa ajukan gugatan class action," ujarnya.
Baca: KPK Didesak Tuntaskan Kasus Kontrak JICT-KOJA yang Sebabkan Kerugian Negara Rp 6 Triliun
Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Abdul Halim mengatakan, penegakan hukum juga menjadi aspek penting untuk mengawal pengelolaan aset negara terutama pelabuhan nasional.
"Teori penguatan negara dalam model Fukuyama memberi kritik terhadap daya dukung negara dalam pengelolaan pelabuhan di Indonesia," ujar Abdul.
Dalam kasus kontrak JICT-Koja kepada asing Hutchison, kata dia terdapat anomali deregulasi yang bertentangan dengan aspek penguatan hukum oleh negara.
Baca: Prabowo Lama Hidup di Luar Negeri, Sudjiwo Tedjo: Dia Cinta Banget Sama Negerinya Atau Benci Sekali?
Guru besar Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad menyatakan kesepakatan kontrak yang dibuat antara Pelindo II dan Hutchison tidak boleh bertentangan dengan hukum.
"Jika terjadi pelanggaran, perpanjangan kontrak tersebut batal demi hukum. Apabila dipaksakan, sudah pasti itu ilegal. Di sini Negara harus hadir," katanya.
Ditambahkan Suparji, kasus JICT dan TPK Koja semestinya bisa dituntaskan jika para pemegang otoritas mengambil tindakan tegas.
"Apalagi audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyebutkan kerugian negara masing-masing sebesar Rp 4,08 T dan Rp 1,86 T," ujar Suparji.