Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Badan Litbang dan Diklat Kemenag: Perlu Ada Pengawasan dan Pengauditan Penyelenggaraan Ibadah Umrah

Pelaksanaan ibadah umrah tiap tahunnya kerap mengalami kendala. Padahal, Kementerian Agama telah mengeluarkan regulasi tentang Penyelenggaraan Perjala

zoom-in Badan Litbang dan Diklat Kemenag: Perlu Ada Pengawasan dan Pengauditan Penyelenggaraan Ibadah Umrah
TRIBUNNEWS.COM/ADI SUHENDI

TRIBUNNEWS.COM – Pelaksanaan ibadah umrah tiap tahunnya kerap mengalami kendala. Padahal, Kementerian Agama telah mengeluarkan regulasi tentang Penyelenggaraan Perjalanan ibadah umrah, yaitu Peraturan Menteri Agama No. 18 Tahun 2015 (PMA 18/2015).

Regulasi ini dikeluarkan untuk mengatur tentang perjalanan umroh sehingga harus dipatuhi oleh para penyelenggara.

Namun pada kenyataannya, peraturan ini belum teraplikasikan dengan sempurna. Masih banyak terjadi permasalahan terkait penyelenggaraan ibadah umrah.

Beberapa permasalahan yang sering dilaporkan diantaranya Jemaah gagal diberangkatkan, Jemaah tidak bisa menginap di hotel sesuai dengan jangka waktu yang dijanjikan, Jemaah tidak bisa pulang karena tidak disediakan pesawat, jadwal keberangkatan dan kelupangan tidak ditepati, fasilitas yang diterima tidak sesuai dengan paket yang dijanjikan, Jemaah terlantar karena sakit di Arab Saudi, agen umrah kabur, dan lain sebagainya.

Berbagai laporan masalah ini akhirnya mendorong Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI untuk melaksanakan penelitian tentang bagaimana penyelenggaraan ibadah umrah oleh PPIU di Arab Saudi.

Penelitian ini dilaksanakan selama 12 hari di Arab Saudi (Mekah dan Madinah) dengan tujuan penelitian untuk melihat apakah PPIU melaksanakan kewajiban sesuai dengan regulasi yang ditetapkan di PMA 18/2015.

Dari penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, pada umumnya PPIU telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada di PMA 18/2015 pasar 10, namun demikian, terdapat beberapa ketentuan yang masih diluanggar oleh PPIU, diantaranya tidak mengasuransikan Jemaah umrah, tidak menyediakan tenaga kesehatan (dokter/paramedic), tidak membuat perjanjian bermaterai secara tertulis antara pihak PPIU dengan Jemaah umrah, dan PPIU atau travel umrah tidak memiliki ijin secara resmi namun tetap memberangkatkan Jemaah umrah.

Berita Rekomendasi

Kedua, masih ditemukan adanya sebagian Jemaah yang tidak memperhatikan unsur-unsur yang ada dalam “Program 5 Pasti Umrah” yang telah disosialisasikan Kementerian Agama RI.

Ditemukan juga dalam beberapa kasus, meski sudah memperhatikan “Program 5 Pasti Umrah” bukan berarti mereka akan aman, sebab ada modus dimana travel umrah/PPIU memalsukan data yang diharuskan saat pengambilan visa. Contohnya seperti membuat data fiktif tentang pesawat dan hotel selama di Arab Saudi.

Temuan ketiga menunjukkan kalau masih ada sebagian travel umroh/PPIU yang tidak menetapkan perjanjian tertulis dengan Jemaah seperti yang diatur dalam PMA 18/2018 pasal 9 ayat (3). Padahal, banyak muncul kasus yang merugikan Jemaah akibat kesenjangan dari pihak PPIU. Jika ada perjanjian tertulis sebelumnya antara PPIU dan jamaah, maka pihak Jemaah Umrah seharusnya bisa menuntut PPIU secara hukum.

Temuan lain adalah tidak adanya staf/pelaksana KJRI Jeddah atau staf/pelaksana Kementerian Agama yang secara khusus mengawasi pelaksanaan ibadah umroh di Arab Saudi. Akibatnya, tidak semua masalah terlaporkan dan terdata oleh Kementerian Agama.

Lalu banyak juga ditemukan adanya travel umroh yang tidak berijin namun tetap memberangkatkan Jemaah. Serta, masih banyak juga kasus overstayers, yaitu WNI yang datang di Arab Saudi dengan visa Jemaah umroh dan kemudian menetap untuk menjalankan ibadah haji (dimusim haji). Bahkan ada juga  yang menggunakan visa sebagai Jemaah untuk mencari kerja.

Setelah melaksanakan umrah, mereka mencari teman atau kerabat di Arab Saudi yang bisa memberikan informasi pekerjaan dan/atau penginap-an sementara. Sebagian ber-tujuan untuk mencari kerja dan sebagian lainnya untuk bisa menjalankan ibadah haji di musim haji.

Kasus-kasus seperti ini dapat diberantas dengan beberapa cara. Pertama, karena UU 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji hanya terdiri dari 4 pasal, jadi tidak menjangkau aspek perlindungan bagi Jemaah. Untuk itu, diperlukan adanya perubahan UU yang mengatur ketentuan Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah, yaitu:

  1. Kewajiban - kewajiban PPIU dan hak-hak jemaah umrah, serta kewajiban pemerintah;
  2. Teknis pendaftaran, bim-bingan, transportasi, ako-modasi, kesehatan, dan perlindungan
  3. Pembinaan dan penga-wasan oleh Pemerintah terhadap penyelengga-raan perjalanan ibadah umrah;
  4. Pengaturan penetapan ketentuan pidana atau sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar ketentu-an dalam penyelenggara-an perjalanan ibadah umrah;
  5. Kewenangan pemerintah dalam menetapkan pihak penerima visa umrah

Lalu, penelitian ini juga memberikan solusi perlu juga adanya perubahan dan penambahan regulasi di Kementerian Luar Negeri yang mengatur struktur KJRI Jeddah, khususnya terkait kelembagaan TUH, perlu penambahan tugas pengawasan umrah bagi TUH yang selama ini hanya mengurusi haji, diperluas menjadi Teknis Urusan Haji dan Umrah (TUHU).

Kemudian, diperlukan juga adanya pengawasan terhadap PPIU, baik pengawasan terhadap teknis keberangkatan Jemaah hingga pengawasan organisasinya yang bisa dilakukan melalui peng-auditan dan akreditasi bagi PPIU, terutama dalam pemanfaatan dana yang dikumpulkan dari Jemaah.

Dan terakhir, perlu adanya penegakan hukuman atau sanksi yang tegas kepada travel umarh/PPIU yang melanggar ketentuan peraturan perundangan ter-kait Penyelenggaraan Perja-lanan Ibadah Umrah. Selain sanksi administratif yaitu pembekuan dan pencabutan ijin PPIU, para pelaku yang terlibat melakukan pelang-garan (pengurus PPIU) juga  perlu diberi sanksi tidak diperkenankan untuk kem-bali mengelola perjalanan ibadah umrah.

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas