Sosok Kombes Pol Lisda Cancer, Dokter di balik Keberhasilan DVI Identifikasi Korban Lion Air PK-LQP
Ia mengungkapkan kalau anak sulungnya kini tengah menimba ilmu Psikologi di salah satu Universitas.
Penulis: Yanuar Nurcholis Majid
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Nurcholis Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - - Keberadaan Kombes Polisi Lisda Cancer menjadi salah satu "buruan" wartawan saat tragedi maut Pesawat Lion Air PK-LQP terjadi beberapa pekan lalu.
Walaupun hingga larut malam, para awak media tetep setia menunggu informasi terkini yang disampaikan wanita yang tahun ini genap berusia 50 tahun itu.
Mengenakan atribut lengkap di seragam nya, Lisda yang satu-satu nya perempuan saat konferensi pres berlangsung, sigap memberikan memberikan meteri.
"Terimakasih teman-teman media masih setia menunggu informasi dari kami," ujar Lisda setiap kali mengawali konferensi pres nya.
Namun siapa sangka lulusan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Indonesia ini tertarik bergabung dengan kepolisian lantaran seniornya di Resimen Mahasiswa (Menwa) banyak yang menjadi anggota TNI dan Polri.
Karna terispirasi seniornya itu, Lisda pun akhirnya memutuskan untuk mengikuti sekolah perwira selepas lulus FKG tahun 1994.
"Setelah itu saya masuk pendidikan polisi, pendidikan polisi sembilan bulan ya, penempatan pertamanya di sekolah polisi wanita dari 95 - 2003, lalu 2003 saya pendidikan sekolah lanjutan perwira, terus sampai 2004," cerita Lisda, saat ditemui Tribunnews.com, beberapa waktu lalu.
Baru lah di tahun 2004 ibu dari tiga orang anak ini bergabung ke Pusdokkes Polri di bidang Kedokteran Polisian dan bargabung di tim forensik Polri.
Awal karir dirinya di forensik pun terbilang cukup berat, ditahun pertama bekerja Ia sudah menangani kasus pengeboman Kedutaan Australia 2004 silam.
Berselang lima tahun tepatnya tahun 2009, perempuan kelahiran 1968 ini juga terlibat dalam tim yang mengindentifikasi pelaku bom JW Mariot dan Ritz Carlton.
Terakhir kasus bom bunuh yang terjadi di Surabaya pada Mei 208 lalu, yang para pelaku nya merupakan satu keluarga Ia juga tangani.
Lebih dari 14 tahun "berkawan" akrab dengan jenazah, Lisda mangaku hingga saat ini masih merasa tidak "nyaman" ketika harus dihadapkan dengan kondisi jenazah yang tidak utuh.
"Yang pertama, takut sih ga ya. Alhamdulillah kalau takut enggak. Cuman rasa mungkin enggak nyaman ya apalagi kalau lihat kondisinya enggak (bagus) ini enggak nyaman tapi ya lama lama terbiasa," ucap Lisda.
Selama berkecimpung di DVI, bukan tidak pernah dirinya menerima complain dari para keluarga korban yang menanti hasil identifikasi dari timnya keluar.
Namun dirinya mengerti bagaimana emosi dan kekhawatiran menguasai perasaan para keluarga korban.
Sehingga, ia pun mencoba untuk menjawab setiap complain maupun teror pertanyaan yang datang kepadanya dengan penuh sabar.
“Maksudnya, kita kan tau emosinya namanya orang lagi sedih, merasa kehilangan. Kita yang harus sabar dan harus bisa menjelaskan yang masuk akal gitu, sehingga keluarga korban menerima alasan kita apa, jangan kita ngarang-ngarang,” tuturnya.
Walaupun sudah belasan tahun berkecimpung di DVI, namun Lisda mengaku juga pernah gagal dalam mengidentifikasi korban.
Perasaan menyesal akibat tidak berhasil mengidentifikasi korban pun diakuinya kerap kali merayapi hatinya, ketika gagal.
Terlebih, jika keluarga korban begitu mengharapkan anggota keluarga atau kerabatnya segera ditemukan.
“Ya ada sih perasaan menyesal jika kita tidak bisa mengidentifikasi, tidak bisa mengembalikkan kepada keluarga korban, apalagi kalau keluarga korban sangat mengharapkan ya, pasti ada rasa (penyesalan) itu,” ungkapnya.
Sementara disisi lain kesuksesan Lisda di dunia forensi tampaknya tidak tertular kepada ketiga anaknya.
Ia mengungkapkan kalau anak sulungnya kini tengah menimba ilmu Psikologi di salah satu Universitas.
Rencananya, Ia ingin mengarahkan agar anaknya tersebut mau mengambil Psikologi Forensik.
“Anak saya yang pertama kuliah psikologi. Dia ga mau jadi dokter katanya, akhirnya ambil psikologi, tapi tetep saya dorong untuk ambil psikologi forensik sih,” ujar Lisda.
“Kalau dokter gigi forensik kan artinya luar biasa, maksudnya di luar kebiasaan. Itu yang dicari cari orang. Nah anak saya juga seperti itu, kalau psikolog mungkin biasa tapi kalau psikologi forensik di luar kebiasan kan, nantinya dicari cari orang. Apalagi sekarang psikologi forensik sedang dikembangkan kan, barangkali kalau dia bisa mengembangkan lebih bagus,” tutur Lisda.