Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

Catatan Imparsial Soal Kontrol Ketat Rezim Orde Baru Terhadap Islam dan Kehidupan Politik

Catatan Imparsial Soal Kontrol Ketat Rezim Orba Terhadap Islam dan Kehidupan Politik

Penulis: Reza Deni
Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Catatan Imparsial Soal Kontrol Ketat Rezim Orde Baru Terhadap Islam dan Kehidupan Politik
Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com
Direktur Eksekutif Imparsial, Al-Araf 

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Memperingati Hari HAM sedunia pada 10 Desember, Direktur Imparsial Al-Araf menegaskan bahwa kebebasan dalam demokrasi tak lepas dari para pejuang yang meruntuhkan rezim otoritarian Orde Baru.

Para pejuang tersebut, dikatakan Araf, bahkan rela menukarkan nyawa mereka demi terciptanya iklim negara yang tak represif.

"Para aktivis yg hilang di era 98 adalah para martir perubahan. Karena kalau kita tahu, di era Orde Baru hanya sedikit yang mau melawan rezim," ujarnya di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (10/12/2018).

Lembaga ini kemudian mengingatkan publik soal rejim Orde Baru (Orba) Soeharto yang memiliki kekhawatiran mendalam atas kekuatan Islam sehingga sangat mengontrolnya ketat.

Pihaknya merasa perlu menyampaikan hal itu karena dinamika politik kekinian yang menghadirkan asumsi dan opini bahwa Era Orde Baru adalah era yang baik. Padahal, kerinduan demikian sungguh ahistoris dan tak tepat.

Imparsial mencatat, yang pertama, adalah ketakutan Orba atas kekuatan Islam.

"Kekhawatiran Orde Baru atas kekuatan Islam menghasilkan kontrol ketat rezim Orde Baru kepada kelompok-kelompok Islam," katanya.

Berita Rekomendasi

Hal itu terwujud lewat tindakan seperti kebijakan pemaksaan asas tunggal Pancasila, kekerasan kepada kelompok Islam seperti di Tanjung Priok dan Talangsari Lampung.

Orba tak segan menetapkan status Daerah Operasi Militer di wilayah seperti Papua dan Aceh. Penetapan itu mengakibatkan terjadinya berbagai kasus pelanggaran HAM.

Kehidupan politik di masa rezim Orba dikontrol ketat. Demi mempertahankan kekuasaan yang otoritarian, rezim menggunakan kekerasan dan ancaman sebagai metode politik.

"Setiap kritik warga negara dinilai sebagai ancaman sehingga penangkapan sewenang-wenang, penculikan dan bahkan pembunuhan berulang kali terjadi pada masa ini," kata dia.

Kalau kini muncul kampanye komunis, Al Araf mengatakan bahwa stigma komunis di era Orba sudah dipakai. Stigma komunis dan pengganggu stabilitas keamanan kerap disematkan kepada para aktivis yang kritis terhadap kekuasaan.

"Padahal dalih kepentingan keamanan itu merupakan tameng rezim untuk mempertahankan kekuasaannya yang korup dan bobrok," ujarnya.

Alhasil, berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM banyak terjadi. Seperti penculikan aktivis 1997/1998, pembredelan media massa, pembunuhan aktivis buruh Marsinah.

Perampasan tanah rakyat seperti kasus Kedung Ombo, berbagai kekerasan kepada kelompok mahasiswa seperti tragedi Trisakti dan Mei 1998.

Memasuki Era Reformasi 1998, ada harapan besar masyarakat akan adanya koreksi atas berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM itu. Sayangnya, hingga kini semuanya belum ada yang selesai.

Komnas HAM sudah menyelesaikan penyelidikan 9 kasus dugaan pelanggaran HAM masa Orba. Namun, proses penyelesaian itu stagnan di Kejaksaan Agung.

Karenanya, Imparsial mendorong sejumlah rekomendasi yang intinya meminta Pemerintahan Jokowi segera menyelesaikan kasus-kasus itu.

Kasus terdekat yang bisa diselesaikan oleh pemerintah adalah kasus penghilangan paksa/orang hilang 1997-1998. Sebagaimana rekomendasi DPR, Pemerintah membentuk pengadilan HAM ad hoc kasus penghilangan paksa/orang hilang.

"Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah menindaklanjuti rekomendasi dari DPR tersebut," kata Al Araf.

Presiden memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti semua berkas kasus pelanggaran HAM yang sudah dilimpahkan Komnas HAM.

Pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 39/1999 untuk memperkuat kelembagaan Komnas HAM. Khususnya kewenangan menangani penyidikan kasus pelanggaran HAM.

Semua rekomendasi itu menjadi penting karena Indonesia punya utang sejarah kepada para pejuang demokrasi yang mati dan hilang pada masa Orba.

Kebebasan saat ini, katanya takkan mungkin terjadi tanpa pengorbanan mereka.

"Membawa para pelaku pelanggaran HAM ke meja pengadilan adalah tugas suci kita bersama. Jangan biarkan mereka menjadi penguasa di negeri ini. Jika itu terjadi, sejarah akan malu mencatatnya," Al Araf menegaskan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas