The Economist Kritik Pemerintahan Jokowi soal Pengelolaan Perekonomian Negara, Ini Tanggapan Istana
Majalah The Economist berskala internasional yang berbasis di London, mengkritik habis - habisan terkait kinerja pemerintahan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majalah The Economist berskala internasional yang berbasis di London, mengkritik habis - habisan terkait kinerja pemerintahan Republik Indonesia terutama dalam mengelola perekonomian negara.
Pemerintahan Jokowi - JK mendapatkan kritik pedas dari majalah ekonomi asal Inggris tersebut. Salah satu poin yang dikritik yakni, dibawah kepimpinan Jokowi-JK dinilai tak mampu untuk mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi, dikarenakan tak sesuai dengan kampanye pada waktu lalu saat menjanjikan ekonomi RI bisa tumbuh 7%.
Menanggapi kritikan tersebut Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika menjelaskan saat ini indikator makro ekonomi Indonesia masih tetap solid dan cenderung membaik.
Meskipun demikian, menurutnya banyak dari kritikan tersebut yang perlu diklarifikasi karena tidak didasarkan kepada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu.
"Sepanjang 2015-2017, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) rata-rata tumbuh 5,2 persen per tahun; sedangkan pada periode 2012-2014 rata-rata tumbuh 3,5% per tahun." ujar Erani kepada Kontan.co.id, Sabtu (26/1).
Baca: Prabowo Heran Kaum Intelektual Diam Melihat Kondisi Bangsa Sekarang
The Economist menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mampu membantu laju pertumbuhan ekonomi suatu negara, ialah investasi. Investasi sendiri merupakan hal yang masih diupayakan pemerintah, apalagi melihat potensi pertumbuhan ekonomi yang besar.
Menurut Erani, di Indonesia pada tahun 2012 total penanaman modal tumbuh hingga 24% dan mencapai level tertinggi pada tahun 2013 sebesar 27%. Namun, realisasi tersebut turun signifikan dan hanya tumbuh 16% pada tahun 2014. "Tren perlambatan pertumbuhan investasi mulai pulih. Pada 2017 dengan pertumbuhan 13%, di mana pada 2016 tumbuh 12%." ujar Erani.
Erani menambahkan Salah satu pencapaian yang menarik adalah realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sejak 2016, pertumbuhan PMDN rata-rata di atas 20%. Pada bagian lain, porsi PMDN pada realisasi penanaman modal meningkat dari 29% pada 2010 menjadi 37% pada 2017.
Hingga Triwulan III-2018, penyerapan tenaga kerja PMDN sebanyak 327.206 orang dibandingkan pada periode yang sama di tahun 2014 sebanyak 234.497 orang. Kritikan tersebut masih terus bergulir seperti yang dilansir The Economist, Ketika Jokowi menjadi RI 1, Bank Dunia menghitung bahwa tingkat pertumbuhan potensial Indonesia adalah 5,5%.
"Cara terbaik untuk meningkatkan jumlah itu adalah dengan menghidupkan kembali sektor manufaktur, meniru negara-negara Asia lainnya dengan menjadi bagian dari rantai pasokan global." isi artikel The Economist, Jumat, (24/1).
Menurut Erani, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah menghentikan persoalan deindustrialisasi, serta mendorong proses reindustrialisasi, melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Berbagai BUMN industri strategis, seperti PT INKA, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT PINDAD, PT Barata Indonesia, Krakatau Steel telah mampu menembus pasar internasional," kata Erani.
Alasan berikutnya yang tidak kalah pedas kritikan berkaitan dengan ketenagakerjaan di Indonesia. The Economist menilai bahwa tenaga kerja Indonesia masih belum terampil, bahkan mereka pun menuntut upah yang tinggi.
"SDM di Indonesia juga selalu menuntut upah yang tinggi. Upah tenaga kerja Indonesia bahkan mencapai 45% lebih tinggi dari tenaga kerja Vietnam. Adapun Vietnam selama ini disebut-sebut menjadi saingan terberat pemerintah Indonesia dalam menarik hati investor China yang terdampak perang dagang." seperti yang dilansir The Economist
Terkait dengan sektor ketenagakerjaan, ada beberapa data yang menunjukkan perkembangan menggembirakan, menurut Erani. Berikut data yang disampaikan:
* Porsi tenaga kerja formal meningkat. Pada Agustus 2014, porsi pekerja formal mencapai 40% dan meningkat menjadi 43% pada Agustus 2018. Hal ini menggambarkan kualitas tenaga kerja semakin membaik.
* Porsi tenaga kerja setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu menurun. Pada Agustus 2014, porsi tenaga kerja yang berstatus setengah penganggur dan pekerja paruh waktu masing-masing 22% dan 6,6% dari tenaga kerja, sedangkan pada Agustus 2018 masing-masing 22,7% dan 8,4%.
* Produktivitas tenaga kerja Indonesia pada kenyataannya terus meningkat. Data ILO menunjukkan produktivitas pekerja pada periode 2014 - 2018 tumbuh sebesar US$1.408 atau 18%. Peningkatan itu masih lebih baik dari periode 2009 - 2013 yang hanya naik sebesar US$1.122 atau 17%.
* Pemerintah tidak hanya menitikberatkan pada aspek produktivitas semata, namun juga fokus pada peningkatan kualitas SDM agar dalam jangka panjang produktivitas tenaga kerja semakin baik
* Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan upah minimum sebagai komitmen mendorong produktivitas yang disesuaikan dengan kemampuan pelaku industri. Rata-rata upah minimum provinsi (UMP) secara nasional sepanjang 2014 - 2019 naik 60%.
* Pemerintah telah mendorong program vokasi dan bekerja sama dengan pelaku industri agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM) tenaga kerja yang siap kerja dan ahli di bidangnya (program link and match
Selain itu, dalam artikel The Economist dituliskan jika Jokowi kembali terpilih, The Economist menegaskan bahwa banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki ekonomi.
"Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, di mana pengembalian belum sesuai dengan janjinya. Selama kampanye 2014, Jokowi berjanji untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7% per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya. Realisasinya sekitar 5% sejak ia menjabat." lansir The Economist
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di KONTAN, dengan judul: The Economist kritik pemerintahan Jokowi, ini sanggahan Istana