Saksi Sebut Eni Maulani Saragih Pernah Telepon Tawarkan Bantuan Terkait Proyek PLTU Riau-1
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggelar sidang kasus korupsi proyek PLTU Riau-1 yang menjerat terdakwa Idrus Marham.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggelar sidang kasus korupsi proyek PLTU Riau-1 yang menjerat terdakwa mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham.
Pada Kamis (7/2/2019) ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menghadirkan tiga orang saksi.
Mereka di antaranya Iwan agung firsantara, Dirut PT PJB (PT Pembangkitan Jawa-Bali).
Lalu, saksi lainnya yaitu, Dwi Hartono, Direktur Operasional PT PJBI (Investasi), dan Rudy Herlambang, Direktur Utama PT Samantaka Batubara.
Baca: Pengamat Nilai Jokowi Tidak Perlu Menyerang Kubu Prabowo-Sandi
Pada saat pemeriksaan saksi, Rudy Herlambang, mengaku mantan Wakil Ketua Komisi VII periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih pernah menelpon soal proyek PLTU Riau-1.
Menurut dia, telepon itu atas permintaan bos Blackgold Natural Resources Limited, Johannes B Kotjo.
"Jadi awalnya saya tidak mengerti kalau ada bantuan atau fasilitator dari pihak lain tentang itu, jadi pada saat itu saya terima telepon. Saya angkat kemudian beliau mengenalkan ke saya ini Eni, 'terus kalau ada kesulitan coba telepon saya'," ungkap Rudy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, (7/2/2019).
Baca: KPU Sebut 2.049 Caleg Ogah Buka Informasi Diri Kepada Publik
Pada saat itu, dia menjelaskan, baru mengetahui peran Eni akan membantu sebagai fasilitator untuk meloloskan proyek PLTU Riau-1 dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Semula, dia tertarik berpartisipasi di proyek PLTU Riau-1 lantaran cadangan batubara PT Samantaka yang melimpah.
Pada 2014, sumber daya batubara PT Samantaka sebanyak 201 juta metrik ton, kemudian cadangan 50 juta metrik ton.
Menurut dia, pemerintah menggalakkan program listrik 35 ribu megawatt.
Dimana yang 10 ribu megawatt yang dilaksanakan pemerintah dan 25 ribu megawatt diserahkan ke swasta.
"Saya memberanikan diri untuk merealisasikan ide ini, beliau pak Kotjo bilang bagus kalau bisa dilaksanakan silahkan," ujar Rudy.
Baca: Pertumbuhan WSBP di Tengah Besarnya Kebutuhan Infrastruktur
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Idrus Marham bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd).
Uang itu diberikan untuk proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Dalam surat dakwaan itu, JPU pada KPK menyebut pemberian uang itu diduga agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Rencananya, proyek akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Semula, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tetapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, akhirnya Kotjo menemui Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Lalu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN.
Kemudian, Novanto mempertemukan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang duduk di Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selama perjalanan kasus ini, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Di dalam surat dakwaan disebutkan, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Idrus saat itu mengisi jabatan ketua umum Golkar, karena Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan e-KTP.
JPU pada KPK menduga Idrus berperan atas pemberian uang dari Kotjo yang digunakan untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Idrus disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Atas perbuatan itu, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.