Ahli: Penyidik Harus Profesional Konstruksi Hukum Tindak Pidana Korupsi
Mudzakir menjelaskan berbagai macam hal mulai dari niat pelaku melakukan tindak pidana, tindak pidana korporasi hingga ke barang bukti
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggelar sidang kasus dugaan suap terkait peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada panitera, Edy Nasution, yang menjerat terdakwa Eddy Sindoro.
Pada Senin (11/2/2019), sidang beragenda pemeriksaan saksi dan saksi ahli yang diajukan oleh tim penasihat hukum Eddy Sindoro. Mudzakir ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) dihadirkan ke persidangan.
Mudzakir menjelaskan berbagai macam hal mulai dari niat pelaku melakukan tindak pidana, tindak pidana korporasi hingga ke barang bukti dan alat bukti untuk kepentingan pembuktian di persidangan.
"Penyidik harus profesional dari awal sehingga mengkonstruksi secara tepat," tegasnya, saat memberikan keterangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (11/2/2019).
Baca: JK: Aksa Mahmud Tetap Mendukung Jokowi
Di persidangan, tim penasihat hukum Eddy Sindoro menanyakan kepada Mudzakir soal pertanggungjawaban seseorang terhadap korporasi apabila melakukan suatu tindak pidana.
"Tidak mempunyai jabatan lagi di perusahaan, tetapi diminta pertanggungjawaban," kata tim penasihat hukum Eddy Sindoro.
Lalu, Mudzakir menjelaskan, korporasi berbeda dengan subjek hukum orang. Untuk pertanggungjawaban berada di orang yang bertugas menjalankan korporasi atau dalam hal ini pengurus atau pejabat di jajaran direksi.
"Tidak tercatat tidak bisa bertindak untuk dan atas nama korporasi kecuali dapat surat kuasa khusus. Corporate abstrak, konkrit orang. Siapa itu? Direksi dari suatu korporasi bertanggungjawab menjalankan kegiatan korporasi," tambahnya.
Sebelumnya, Eddy Sindoro didakwa melakukan suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution dengan uang sejumlah Rp 150 juta dan 50 ribu US Dolar.
Dakwaan itu dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2018).
Baca: Partai Berkarya: Dukungan Muchdi Pr ke Jokowi Sikap Pribadi
Uang sejumlah tersebut diduga diberikan Eddy Sindoro kepada Edy Nasution untuk memuluskan sejumlah perkara perdata yang menjerat beberapa perusahaan
Eddy Sindoro meminta agar Edy Nasution menunda pelaksanaan proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan mengupayakan agar PT Across Asia Limited (AAL) bisa mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan pailit meskipun waktu pengajuan PK sudah habis.
Aanmaning sendiri dalam dunia hukum merupakan peringatan berupa pemanggilan kepada pihak tereksekusi untuk melaksanakan hasil persidangan perkara serta hasil keputusannya secara sukarela.
Dalam uraiannya JPU KPK menyatakan untuk kasus penundaan aanmaning Eddy Sindoro melalui Wresti Kristian Hesti Susetyowati menyerahkan Rp 100 juta kepada Eddy Sindoro yang diterima oleh Doddy Aryanto Supeno.
Sementara untuk pengajuan PK PT AAL Eddy Sindoro yang juga melalui Wresti menyerahkan uang hadiah sejumlah Rp 50 juta dan 50 ribu US Dolar.
Eddy Sindoro didakwa melakukan pelanggaran pidana pada Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Edy Nasution sendiri sudah divonis dengan hukuman penjara selama 8 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sementara Doddy Aryanto Supeno divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp 150 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.