Idrus Marham Akui Pernah Berkunjung ke Kediaman Sofyan Basir
Idrus mengungkapkan, tujuan kedatangan itu untuk mengonfirmasi isu yang sedang viral terkait Sofyan Basyir
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa mantan sekretaris jenderal Partai Golkar, Idrus Marham mengaku pernah mendatangi kediaman Direktur Utama PLN, Sofyan Basir.
Idrus mengungkapkan, tujuan kedatangan itu untuk mengonfirmasi isu yang sedang viral terkait Sofyan Basyir.
Baca: Sofyan Basir Nilai Idrus Marham Tidak Tahu Soal Proyek PLTU Riau-1
Pada saat itu, sedang ramai diperbincangkan terkait rekaman perbincangan Menteri BUMN Rini Soemarno dengan Dirut PLN Sofyan Basyir.
Pada saat itu, terdapat rekaman pembicaraan antara Rini Soemarno dan Sofyan Basyir yang diduga berbicara mengenai bagi-bagi saham.
"Awalnya saya telepon langsung, ingin tanya. Tapi karena Pak Sofyan sedang di luar negeri, dia minta saya datang saja ke rumahnya," ujar Idrus saat memberikan tanggapan terhadap pernyataan Sofyan Basir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (12/2/2019).
Idrus Marham menjelaskan, tujuan bertemu dengan Sofyan basyir untuk mengingatkan agar berhati-hati selama tahun politik.
Dia mengingatkan pejabat negara dapat dengan mudah dimainkan isu-isu politik.
Lalu, Idrus Marham mengungkapkan, dia mengatur jadwal berkunjung ke kediaman Sofyan. Namun, menurut Idrus, Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, ingin mengikuti pertemuan di rumah Sofyan.
Belakangan, selain Eni, pertemuan di kediaman Sofyan juga dihadiri pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.
Menurut Idrus, Eni dan Kotjo berkepentingan terkait proyek PLTU Riau.
"Waktu itu memang sudah disepakati, Pak Kotjo dulu yang bicara, baru saya belakangan," kata Idrus.
Selain berbicara masalah politik, mereka membahas masalah sosial yang berhubungan dengan keumatan.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Idrus Marham bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd). Uang itu diberikan untuk proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Dalam surat dakwaan itu, JPU pada KPK menyebut pemberian uang itu diduga agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Rencananya, proyek akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Semula, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tetapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, akhirnya Kotjo menemui Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Lalu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN.
Kemudian, Novanto mempertemukan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang duduk di Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selama perjalanan kasus ini, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Di dalam surat dakwaan disebutkan, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Idrus saat itu mengisi jabatan ketua umum Golkar, karena Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan e-KTP.
Baca: Idrus Marham : PLTU Riau-1 Bukan Proyek Partai Golkar
JPU pada KPK menduga Idrus berperan atas pemberian uang dari Kotjo yang digunakan untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Idrus disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Atas perbuatan itu, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.