Kisah Amarah Penyintas Bom Marriot dan Tangisan Si Mantan Teroris
Vivi juga menceritakan hal yang paling berat dalam hidupnya setelah pengeboman itu merusak sebagian anggota tubuhnya
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengeboman Hotel JW Marriot pada tahun 2003 menyisakan trauma yang panjang dan menguras emosi Vivi, seorang perempuan yang menjadi korban pengeboman tersebut.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, Vivi bisa ikhlas menerima kenyataan pahit yang dia alami.
Baca: Ketika Ali Imron Pelaku Bom Bali I Minta Maaf kepada Para Korban Terorisme
Semua itu terjadi setelah dia mengalami satu momen yang membuat emosi Vivi memuncak.
Momen itu adalah ketika dia bertemu dengan Ali Fauzi, mantan teroris yang pernah terlibat dalam Bom Bali I.
Saat bertemu dengan adik kandung trio pengebom Bali, Ali Gufron alias Mukhlas, Ali Imron dan Amrozi itu emosi Vivi langsung memuncak.
Bertemu di Surabaya tahun 2016, saat itu Vivi ingin sekali menyiram wajah Ali Fauzi menggunakan garam dan cuka, Vivi ingin Ali Fauzi merasakan kepedihan yang dia dan para korban bom lainnya alami.
Emosi memicu Vivi untuk mencaci-maki Ali Fauzi untuk meluapkan kemarahannya.
"Saat saya mencaci-maki, Beliau diam, malah menangis. Terus saya bilang, 'Kenapa teroris bisa menangis?' Akhirnya saya terenyuh oleh apa yang disampaikan Beliau, ketulusan Beliau untuk hijrah, untuk tobat, saya dan teman-teman akhirnya bisa menerima," ujar Vivi saat peluncuran sekaligus bedah empat buku karya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Suhardi Alius di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (14/2/2019).
Suara Vivi bergetar saat menceritakan pengalamannya sebagai korban bom Hotel JW Marriot kepada para audiens yang menghadiri peluncuran buku ini.
Vivi juga menceritakan hal yang paling berat dalam hidupnya setelah pengeboman itu merusak sebagian anggota tubuhnya.
"Luka itu membutuhkan pengobatan selama tujuh bulan dan yang paling berat adalah saya tidak siap untuk menghadapi pernikahan saya," tutur Vivi.
Suaranya parau, ia terlihat berusaha tegar meskipun mimik wajahnya memperlihatkan kesedihan, perlahan ia melanjutkan kalimatnya.
Saat baru mengalami peristiwa naas itu, ia mengaku bingung lantaran momen pernikahannya semakin dekat, namun dia mengalami kenyataan pahit.
Vivi mengaku saat itu belum bisa menerima kenyataan tangannya tidak bisa berfungsi secara normal.
Ia takut tidak bisa bersalaman dengan para tamu undangan yang hadir di pesta pernikahannya.
Akhirnya, Vivi pun terpaksa merelakan pernikahannya, ia batal menikahi pujaan hatinya.
Baca: Kisah Vivi Penyintas Bom Marriot yang Maafkan Pelaku Setelah Lihat Mantan Teroris Menangis
Rencana indah yang telah ia dan pasangannya rencanakan buyar lantaran peristiwa yang terjadi hanya sepersekian detik itu.
"Bagaimana menyalami dengan tangan saya yang dibungkus, saya tak sanggup, akhirnya saya memutuskan untuk tidak jadi menikah," kata Vivi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.