Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Contohkan Tragedi 1965, Arsul Sani Nilai Tak Mudah Selesaikan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Wakil Ketua TKN Asrul Sani menjelaskan kesulitan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini ditemui adalah tekanan politik.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Willem Jonata
zoom-in Contohkan Tragedi 1965, Arsul Sani Nilai Tak Mudah Selesaikan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu
Tribunnews.com/Fitri Wulandari
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (28/3/2018). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Capres dan Cawapres nomor urut 01 Jokowi-Maruf Amin Asrul Sani menilai penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu tidak mudah.

Hal itu diungkapkannya dalam pemaparan pada acara diskusi membedah visi misi Capres dan Cawapres 01 Jokowi-Maruf terkait perlindungan, penegakan, dan penghormatan terhadap HAM di kantor Komnas HAM RI, Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa (19/2/2019).

"Karena saya yakini tidak mudah," kata Arsul.

Ia menjelaskan kesulitan yang selama ini ditemui adalah tekanan politik dari masa akar rumput juga dari elit politik.

Saat menjelaskan mengenai tekanan dari masa akar rumput, ia mencontohkan kasus tragedi pembunuhan masyarakat yang dituduh komunis pada 1965.

Ia mencontohkan dalam konteks partai PPP yang menaunginya.

Berita Rekomendasi

"Contoh, karena saya kebetulan di PPP, partai Islam. Kalau bicara soal penyelesaian HAM berat masa lalu tahun 1965. Maka yang disampaikan semua ormas Islam yang datang ke kita, "Mas hati-hati sampeyan jangan nyentuh-nyentuh yang itu"," kata Arsul.

Ia menyadari, meski secara nalar memiliki keinginan untuk menggali kasus tersebut lebih dalam, namun di sisi lain tidak bisa mengabaikan suara-suara dari ormas tersebut. 

Baca: Jokowi Singgung HGU Prabowo, BPN Sindir Reklamasi

"Jadi walaupun kita secara nalar itu punya keinginan untuk menggali, tapi yang namanya kekuatan politik pasti tidak bisa menegasikan suara-suara seperti itu, apalagi kalau itu adalah basis-basis tradisional pendukungnya," kata Arsul.

Ia pun mengatakan tidak bisa sembarangan berbicara di depan media massa hanya untuk terlihat memimpin dalam hal tersebut.

"Tentu kekuatan politik tidak hanya tidak hanya karena ingin katakanlah, di media hanya ingin keliahatan leading (memimpin) dalam hal ini, dia kemudian berhadapan dengan basis-basis tradisional pendukungnya," kata Arsul.

Untuk tekanan dari elit, ia mencontohkan tragedi pembunuhan, penculikan, dan penghilangan paksa sejumlah aktifis yang menginginkan reformasi pada 1998.

"Belum yang katakanlah, kalau kita ambil dugaan pelanggaran HAM berat yang paling akhir saja, tahun 1998. Ini melibatkan orang-orang yang memang dalam konstelasi politik saat ini ya memang masih ikut mempengaruhi pengambilan keputusan," kata Arsul.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas