Dengarkan Putusan, Anak Sulung Dampingi Eni Saragih di Persidangan
Namun, tak terlihat suami Eni. Mantan wakil ketua Komisi VII DPR RI itu mengklaim suaminya tidak hadir ke persidangan, tetapi berada di Jakarta.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Eni Maulani Saragih menjalani sidang pembacaan putusan terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Jumat (1/3/2019).
Selama menjalani persidangan, Eni didampingi pihak keluarga. Maulana Irfan Sufa, anak tertua Eni Maulani Saragih turut hadir ke pengadilan. Setelah pulang sekolah, Maulana diantar keluarga Eni untuk bertemu dan memberikan dukungan moril kepada ibunya.
"Ada anak saya yang SMA yang waktu saya bilang anak saya nangis di sini. Dateng juga baru pulang sekolah langsung ke sini," ungkap Eni, sebelum persidangan di Jakarta, pada Jumat (1/3/2019).
Eni menikah dengan M. Al Khadziq, yang kini menjabat sebagai Bupati Temanggung. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua orang anak, yaitu Maulana Irfan Sufa dan Maulana Wildan Yusuf.
Namun, tak terlihat suami Eni. Mantan wakil ketua Komisi VII DPR RI itu mengklaim suaminya tidak hadir ke persidangan, tetapi berada di Jakarta.
"Suami ada di Jakarta," kata dia.
Eni menceritakan anaknya dan anggota keluarga mendampingi mulai dari awal persidangan. Mereka mengikuti jalannya persidangan untuk memberikan dukungan moril. Bahkan, pada saat mendengar Eni dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK selama 8 tahun penjara.
Namun, Eni meminta kepada keluarganya untuk tabah dan sabar menghadapi cobaan.
"Ya pokoknya saya cuma sampaikan keluarga kalau waktu pas tuntutan mereka kaget mereka nangis saya bilang kalau bisa jangan nangis pokoknya menerima semua, anggap saja ini sebagai takdir yang harus kita jalani," kata dia.
Sebelumnya, terdakwa Eni Maulani Saragih mengungkapkan mengenai kehidupan keluarganya pada saat membacakan pledoi atau nota pembelaan.
Baca: Blusukan ke Pasar Gorontalo, Jokowi dan Iriana Beli Kacang dan Tomat
Dia meminta majelis hakim memberikan hukuman seringan-ringannya, karena masih mempunyai tanggungan dua orang anak dan suami.
Ini disampaikan Eni pada saat membacakan pledoi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (19/2/2019).
"Saya selaku seorang ibu memiliki dua anak yang masih berada di bawah umur (yang besar kelas 1 SMA dan yang kecil kelas 4 SD), yang masih sangat membutuhkan perhatian, bimbingan, pengawasan, dan pendampingai dari diri saya. Saya pun sebagai seorang istri juga dituntut untuk mendampingi dan melayani suami," kata Eni.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menuntut Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih dituntut 8 tahun penjara. Pembacaan tuntutan disampaikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Rabu (6/2/2019).
JPU pada KPK, Lie Putra Setiawan, menilai Eni Maulani Saragih telah terbukti menerima uang suap senilai Rp4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources.
"Menuntut majelis hakim menyatakan terdakwa Eni Maulani Saragih terbukti sah dan meyakinkan bersalah," tutur Lie saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Selama persidangan terungkap uang itu diberikan agar Johannes mendapat proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau (PLTU Riau-1).
Proyek PLTU Riau-1 sedianya akan dikerjakan oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company. Perusahaan itu dibawa langsung oleh Kotjo.
Tuntutan berupa pemberian hukuman pidana penjara selama 8 tahun ditambah hukuman berupa membayar denda senilai Rp 300 juta. Spatula tidak dipenuhi maka diganti dengan kurungan 4 bulan penjara.
"Mewajibkan membayar denda Rp 300 juta dan subsider 4 bulan kurangan," tutut JPU pada KPK.
Selain itu, JPU pada KPK menuntut Eni membayar uang pengganti senilai Rp 10,35 miliar dan SGD 40 ribu. Uang itu diperhitungkan dari sebagian uang yang telah dikembalikan ke KPK.
Nantinya, kata JPU pada KPK apabila tidak dibayarkan maka akan diganti dengan kurungan satu tahun penjara.
Setelah menjalani hukuman, Eni dikenakan pidana tamabahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.
"Pencabutan hak untuk dipilih selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok," tambah JPU pada KPK.
Selain menerima suap, Eni juga menerima gratifikasi sebesar Rp5,6 miliar dan SGD40 ribu dari beberapa direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas (migas).
Akibat perbuatan itu, Eni didakwa melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.