Dua Saksi Korupsi Perum Jasa Tirta II Mangkir Pemeriksaan KPK
Dua saksi kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perusahaan Umum Jasa Tirta (PJT) II tahun 2017 mangkir dari pemeriksaan KPK.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua saksi kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perusahaan Umum Jasa Tirta (PJT) II tahun 2017 mangkir dari pemeriksaan KPK, pada Jumat (8/3/2019).
Dua saksi itu merupakan konsultan, yakni Arief Setiawan dan Widio Prakoso. Kedua konsultan itu sedianya diperiksa untuk mantan Dirut Perum Jasa Tirta (PJT) II Djoko Saputro.
"Kedua saksi tidak hadir," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (8/3/2019).
Belum diketahui alasan Arief dan Widio tak memenuhi panggilan penyidik pada hari ini.
Baca: Promo Tea Presso Maret 2019, Pembelian via Go-Food Bisa Dapat Diskon 20 Persen
Meski demikian, Febri menegaskan, tim penyidik telah menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap kedua saksi pada Senin (11/3/2019).
"Pemeriksaan akan dijadwalkan ulang hari Senin," kata Febri.
Diketahui, KPK menetapkan Dirut PJT II Djoko Saputra dan seorang swasta bernama Andririni Yaktiningsasi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perum Jasa Tirta II tahun 2017.
Pada 2016 atau setelah diangkat sebagai bos Waduk Jatiluhur, Djoko memerintahkan relokasi anggaran.
Revisi anggaran dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Strategi Korporat yang pada awalnya senilai Rp2,8 miliar menjadi Rp9,55 miliar.
Anggaran tersebut terdiri dari perencanaan strategis korporat dan proses bisnis senilai Rp3.820.000.000.
Selain itu Djoko juga mengubah anggaran perencanaan komprehensif pengembangan SDM Perum Jasa Tirta II sebagai antisipasi pengembangan usaha perusahaan menjadi senilai Rp5.730.000.000.
Perubahan anggaran ini diduga dilakukan Djoko tanpa adanya usulan baik dari unit lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku.
Setelah revisi anggaran, Djoko diduga memerintahkan pelaksanan kedua kegiatan tersebut dengan menunjuk Andririni sebagai pelaksana.