Polri Bantah Penetapan Tersangka Robertus Robet Lukai Kebebasan Berekspresi
Menurutnya, masyarakat diberikan kebebasan mengungkapkan ekspresi dan pendapat mereka dalam UU yang berlaku.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polri membantah penetapan status tersangka pada aktivis Robertus Robet ancam kebebasan berekspresi. Bantahan ini ditujukan atas banyaknya kecaman sejumlah pihak atas penetapan tersangka kepada Dosen Universitas Negeri Jakarta itu.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan pihaknya telah bertindak sesuai prosedur yang berlaku. Adapun dalam menyampaikan pendapat di muka umum, kata dia, juga harus menaati aturan yang ada.
"Enggak (berlebihan, - red) lah, kita berlaku profesional. Jadi gini, dalam kebebasan berekspresi sampaikan pendapat di muka umum, itukan dilindungi oleh UU 9 tahun 1998," ujar Dedi di kantornya, Gedung Divisi Humas Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (8/3/2019).
Menurutnya, masyarakat diberikan kebebasan mengungkapkan ekspresi dan pendapat mereka dalam UU yang berlaku. Akan tetapi, tetap ada UU yang memberikan batasan terkait hal tersebut.
"Tapi tolong dalam UU ini tidak berlaku absolut, kita boleh sebebas-bebasnya ungkapkan ekspresi kita, semaunya ungkapkan pendapat kita di muka umum, publik. Tapi dalam UU 9 tahun 1998 juga memberi batasan, ada limitatif, sama-sama betul-betul ditaatin seluruh warga negara," kata dia.
Ia menjelaskan bahwa aturan yang membatasi tersebut tertulis dalam Pasal 6, dimana terdapat lima hal yang harus dipatuhi bagi warga negara yang ingin menyampaikan pendapat.
Baca: Blusukan ke Plaza Bandar Jaya, Jokowi dan Iriana Beli Mainan untuk Sedah Mirah serta Jan Ethes
Pertama, harus menghargai hak orang lain. Kedua, harus menghormati aturan-aturan moral yang diakui oleh umum. Ketiga, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. Serta, kelima yakni menjaga persatuan, keutuhan dan kesatuan bangsa.
Jenderal bintang satu itu mengatakan aturan tersebut ada agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam kebebasan seseorang berekspresi atau berpendapat.
"Ini harus dijaga bersama. Apabila nanti sampaikan pendapat sebebas-bebasnya, ada pihak yang dirugikan dari ucapan dan narasi yang disampaikan sangat jauh dari fakta dan data yang disampaikan secara verbal. Nah itu merugikan pihak dan orang lain, apalagi benar atau tidak data itu, ternyata belum terverifikasi, maka berita bohong itu, boleh menuntut," tutup dia.