PSI Siap Revisi Pasal Karet UU ITE
Partai Solidaritas Indonesia siap melakukan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat masuk ke parlemen setelah Pemilu.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) siap melakukan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat masuk ke parlemen setelah Pemilu 2019.
Komitmen ini disampaikan oleh juru bicara PSI bidang Teknologi Informasi, Sigit Widodo, Minggu (10/3/2019).
Sigit menilai, revisi UU ITE dirasa perlu karena masih adanya pasal yang dinilai sebagai pasal karet dan banyak dikeluhkan oleh masyarakat.
"Pasal 28 ayat 2 sering digunakan sebagai alasan untuk menangkap seseorang yang menyampaikan pendapat secara terbuka atau dalam suatu forum tertutup, kemudian kontennya menyebar melalui internet," kata Sigit.
Menurutnya, kasus terakhir yang mencuat adalah penangkapan Robertus Robet yang menyanyikan plesetan Mars ABRI dan kemudian dijerat dengan Pasal 45 A ayat (2) jo Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Sesuai pasal tersebut Robet diduga telah menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Untuk kalangan aktivis mahasiswa 1998, termasuk saya, penangkapan ini mengerikan. Sepanjang aksi tahun 1998, terutama pasca Tragedi Trisakti 12 Mei, hampir setiap saat kami menyanyikan lagu itu. Mungkin menyanyikan plesetan Mars ABRI di tahun 2019 dalam konteks Indonesia yang demokratis agak sedikit lebay, tapi itu bukan alasan untuk menahan seseorang," ujar Sigit.
Baca: 11 Ribu Posisi di 110 Perusahaan BUMN Lowong, Rekrutmen Dibuka Hingga 17 Maret 2019
Ia pun mengatakan, revisi UU ITE sebenarnya sudah dilakukan pada 2016 dengan mengeluarkan UU nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Salah satu semangat revisi pada saat itu adalah pengurangan ancaman pidana menjadi di bawah lima tahun agar tidak perlu dilakukan penahanan pada tersangka," jelas Sigit.
Sigit mengungkapkan, Undang-undang nomor 16 tahun 2016 mengurangi ancaman pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun dan ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara dua belas tahun menjadi empat tahun.
"Sayangnya, khusus Pasal 28 ancaman pidananya masih dibiarkan enam tahun sehingga tersangka bisa ditahan," ungkap Sigit.
Sigit juga menilai, revisi UU ITE yang dilakukan pada 2016 silam hanya melakukan tambal sulam.
"UU ITE perlu dikaji lagi secara menyeluruh. Revisi perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di dalam masyarakat. PSI akan mendorong dilakukannya revisi pada UU ITE saat sudah masuk ke parlemen nanti," tegas Sigit.
Meskipun mendukung revisi, Sigit merasa heran dengan politisi-politisi DPR-RI yang saat ini gemar mempermasalahkan UU ITE dan menyalahkan pemerintah atas penerapan Undang-undang ini.
"Undang-undang ini kan dibuat pada 2008 dan direvisi pada 2016 saat mereka duduk sebagai anggota DPR. Kalau merasa ada yang tidak benar dengan UU ITE, mengapa mereka mengesahkannya menjadi Undang-undang?" tanya Sigit.
Untuk itu, ia berharap UU ITE tidak hanya dipermasalahkan oleh anggota-anggota DPR menjelang Pemilu saja.
"Jangan cuma dijadikan bahan gorengan untuk menyerang lawan politik menjelang Pemilu, tapi setelah Pemilu kembali diabaikan dan tidak jadi direvisi," ujar dia.