Butuh Kajian Antropoligis yang Komprehensif Guna Kembalikan Fungsi Sungai
Hal ironis yang terjadi kini adalah upaya pelestarian budaya disalahmengerti sehingga menimbulkan kerusakan sungai.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sungai kini tak memiliki relasi yang kuat dengan warga sebagaimana dahulu ketika nenek moyang membangun peradaban.
Pengelolaan sungai menjadi persoalan teknis yang kerap sulit dipahami oleh para penggerak revitalisasi sungai.
Kadangkala malah muncul kesan bahwa upaya mengembalikan sungai pada fungsinya menjadi urusan proyek.
Pokok pikiran itu disampaikan Didik Wahyudiono , fasilitator Sidang Komisi Kongres Sungai Indonesia keempat (KSI 4.0) bertema 'Sungai sebagai Pusat Kebudayaan berbasis Kearifan Lokal dalam koridor NKRI', Jumat (22/3/2019) malam.
Dalam pengertian itu, untuk mengembalikan sungai ke fungsi seperti dahulu mesti dilakukan kajian antropologis yang komprehensif.
Didik menilai, hal ini mesti diawali dengan meneliti siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab putusnya relasi antara sungai dan warga sebagaimana kini terjadi di Singapura.
Di Indonesia kondisinya memang tidak seperti di Singapura di mana urusan sungai kini menjadi tanggungjawab negara dan peran komunitas kecil atau tak ada.
Namun demikian sikap warga bantaran yang kini memilih untuk hidup membelakangi sungai adalah gejala kuat rusaknya relasi itu.
Hal ironis yang terjadi kini adalah upaya pelestarian budaya disalahmengerti sehingga menimbulkan kerusakan sungai.
Saat ini persepsi keliru timbul di masyarakat adalah bila sungai kotor berarti produksi berjalan dan ekonomi meningkat serta usaha melestarikan budaya berjalan baik.
Perburuan Burung
Dalam sidang komisi itu, Bupati Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Sukirman, mengingatkan rusaknya ekologi secara keseluruhan juga karena maraknya orang berburu burung.
Kerusakan hutan di daerah hulu sungai di wilayah Sumatera Utara terjadi karena tidak adanya pohon-pohon besar dengan akar kuat seperti beringin.
Sehingga air hujan tak terserap tanah dan cepat turun hingga kerap terjadi longsor. Padahal burung adalah penyebar bibit tanaman hingga memungkin pohon-pohon besar tumbuh di bukit dan lereng gunung.
“Seharusnya dalam kesempatan mendatang peserta Kongres Sungai Indonesia perlu menampilkan burung-burung khas yang biasa ditemukan di sungai-sungai wilayahnya,” ujar pegiat olahraga arung jeram Sumatera Utara itu.
Saat ini banyak burung berburu indah dan bersuara merdu menghilang dan sulit ditemui lagi daerah tepi sungai karena maraknya perdagangan. Dahulu kebiasaan orang memelihara burung telah banyak dilakukan namun tidak ada perburuan besar-besaran sebagaimana saat ini. (*)