Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemohon Keberatan Terhadap Penolakan Uji Materi Publikasi Hasil Survei

Menurut dia, keberadaan lembaga survei dan hasil quick count telah memiliki tradisi panjang selama penyelanggaraan pemilu.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Pemohon Keberatan Terhadap Penolakan Uji Materi Publikasi Hasil Survei
KOMPAS.COM/Sandro Gatra
Gedung Mahkamah Konstitusi, KOMPAS.COM/Sandro Gatra 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI), Denny JA, menerima dan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi terkait aturan publikasi hasil survei dan hitung cepat pada Pemilu 2019.

Namun, dia tidak menyetujui putusan tersebut. Hal ini, karena prinsip akademik, di mana lembaga riset seharusnya diperbolehkan mengumumkan hasil riset kapan pun sejauh dia tidak melanggar hukum yang ada.

"Kami hormati putusan hakim, walaupun kami tidak setuju. Kami dari asosiasi mengatakan sepenuhnya patuh dan menghormati para hakim, tetapi secara prinsip kami tidak setuju," kata Denny JA, di Gedung MK, Selasa (16/4/2019).

Menurut dia, keberadaan lembaga survei dan hasil quick count telah memiliki tradisi panjang selama penyelanggaraan pemilu. Terlebih, pada 2009 dan 2014, MK juga membatalkan UU yang melarang quick count sejak pagi.

Dia menilai, melalui keputusan itu, terlihat ada pembatasan dalam kebebasan akademik. Untuk itu, menurut dia, hakim MK, pada saat ini lebih konservatif dan tidak memperhatikan keputusan-keputusan sebelumnya.

Dia menegaskan, akan terus berupaya memperjuangkan kebebasan akademik. Meskipun, dia menyadari, semua keputusan bergantung pada hakim.

"Bagi kami pejuang kebebasan akademik adalah pejuang subtansial yang kapan pun kami memperjuangkan menang kalah dalam keputusan hakim itu adalah pejuang dan tergantung siapa hakim yang sedang jabat," tambahnya.

Baca: Tak Netral, PDIP Berencana Laporkan Salah Satu Komisioner KPU ke DKPP

Berita Rekomendasi

Untuk diketahui, MK menangani uji materi setelah pemohon mengajukan permohonan.

Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVII/2019 yang diajukan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 UU Pemilu.

Pemohon beralasan, dengan dihidupkannya kembali frasa “larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang” dan “pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat” beserta ketentuan pidananya dalam UU Pemilu, maka pembentuk undang-undang telah melakukan pembangkangan terhadap perintah konstitusi dan melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu asas ketertiban dan kepastian hukum.

Padahal Pemohon secara kelembagaan telah mempersiapkan seluruh resources untuk berpartisipasi dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa” melalui pelaksanaan riset atau survei dan mempublikasikannya. Namun demikian, upaya Pemohon tersebut potensial dibatasi atau bahkan dihilangkan dengan keberlakuan pasal-pasal a quo.

Sebagaimana diketahui, seluruh norma dari pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah melalui tiga putusan yakni Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009, juncto Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009, juncto Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3April 2014.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas