ICW: Dari 88 Terdakwa Kasus Korupsi, Hanya 42 yang Dituntut Pencabutan Hak Politik
Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menuntut pencabutan hak politik terhadap 42 terdakwa dari 88 terdakwa.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai aparat penegak hukum belum maksimal dalam memberikan hukuman pencabutan hak politik terdakwa kasus korupsi.
Hal tersebut berdasarakan data ICW dari 2016-2018.
Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menuntut pencabutan hak politik terhadap 42 terdakwa dari 88 terdakwa.
Satu contoh kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Klaten Sri Hartini yang tidak dicabut hak politiknya oleh jaksa KPK.
Alasan jaksa KPK, vonis hukuman 12 tahun penjara bagi yang bersangkutan sudah cukup tinggi.
Baca: Respons Elite PDIP Soal PAN: Baru Kemarin Mencerca Jokowi, Hari Ini Bicara Gabung Koalisi
"Ini kami anggap alasan aneh karena tidak ada kaitannya tuntutan pidana penjara tinggi dengan pencabutan hak politik, keduanya ini punya tujuan berbeda," ujar Kurnia, di Kantor ICW, Jl Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Ia menjelaskan hukuman pidana penjara berbeda dengan hukuman pencabutan hak politik.
Menurutnya, pidana penjara adalah hukuman bagi terdakwa atas kejahatan korupsi yang dilakukannya.
Sementara, pencabutan hak politik adalah upaya pencegahan agar terdakwa tidak kembali menduduki jabatan di dunia politik setelah menjalani hukuman pidana penjara.
Kurnia pun mengimbau agar KPK lebih dominan dalam melakukan pencabutan hak politik kepada terdakwa yang berasal dari dunia politik.
Baca: Marwan Batubara Sebut Orang Dalam di KPU Bisa Merekayasa Data
"KPK harusnya bisa lebih dominan, angka 70, 80 persen itu harus dicapai KPK. Kalau begini, 88 (terdakwa) dari dimensi politik, cuma 42 (yang dituntut pencabutan hak politik) itu kan data yang tidak cukup menggambarkan trigger mechanism yang jelas untuk KPK sendiri," imbuhnya.
Di sisi lain, peneliti ICW lainnya, Lalola Easter, mengatakan pihaknya kesulitan menilai bagaimana Kejaksaan melakukan tuntutan pencabutan hak politik.
Baca: Pemilu Makan Banyak Korban, M Taufik: Saya Sarankan Arief Mundur
Sehingga ICW pun lebih fokus membahas terkait pencabutan hak politik dari sisi lembaga antirasuah yakni KPK.
"Kejaksaannya sendiri tidak punya informasi terkait perkara yang sudah diputus dari tuntutan yang mereka ajukan sehingga kami kesulitan mendapatkan akses penanganan perkara di Kejaksaan. Sehingga tren ini kita ambil dari KPK saja," tutur Lalola.
Asset recovery belum maksimal
Peneliti ICW, Lalola Easter, menyebut kerugian negara akibat korupsi hingga tahun 2018 mencapai Rp 9,29 triliun.
Untuk itu, permasalahan asset recovery masih menjadi tantangan tersendiri bagi penegak hukum.
"Dengan kerugian negara sekitar Rp 9,29 triliun, upaya pengembalian kerugian tersebut belum maksimal," ujar Lalola, di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Baca: Ketua PWNU Jatim: Kalau Ada Kubu Lawan Gabung Jangan Dikasih Posisi Menag dan Menteri Pendidikan
Berdasarkan hasil kajian ICW, Lalola mencatat jika pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa kasus korupsi tidak mencapai 10 persen dari nilai kerugian negara.
Adapun pembayaran uang pengganti yang didapat hanya berjumlah sekira Rp 805 miliar dan sekira US$ 3 juta.
"Maka hanya sekitar 8,7 persen kerugian negara yang diganti melalui pidana tambahan uang pengganti," jelasnya.
Karenanya, ia mengusulkan dua upaya untuk meningkatkan asset recovery.
Baca: Warga Sering Merinding Saat Lewat di Lokasi Mutilasi Guru Honorer, Ini Fakta-faktanya
Pertama, aparat penegak hukum diimbau memaksimalkan hukuman pidana tambahan uang pengganti.
Selain itu, usulan kedua adalah menerapkan pasal gratifikasi dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"Misalnya, Kejaksaan dan KPK perlu memaksimalkan asset recovery dengan merumuskan dakwaan dengan menggunakan tindak pidana pencucian uang (TPPU) agar kalau bicara pendekatan follow the money itu bisa kelihatan. Sehingga asset recovery itu dilakukan dengan lebih maksimal," kata Lalola.
"(Pasal gratifikasi di UU Tipikor, - red) Ini salah satu pendekatan yakni pembalikan beban pembuktian secara terbatas dapat digunakan untuk merampas harta-harta yang keabsahan perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Soroti vonis ringan
Selain itu, Lalola Easter pun menyebut 79 persen terdakwa korupsi hanya mendapatkan vonis ringan dengan putusan berkisar antara 1 hingga 4 tahun penjara.
"Berdasarkan pemantauan ICW pada 2018, ada 1.053 perkara dengan 1.162 terdakwa yang diputus pada ketiga tingkatan pengadilan," ujar Laola, di Kantor ICW, Jl Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Laola mengungkap bahwa sebanyak 918 terdakwa (79 persen) divonis dengan hukuman ringan yakni 1 hingga 4 tahun.
180 terdakwa lainnya (15,4 persen) divonis hukuman sedang antara 4 hingga 10 tahun. Sementara yang menerima vonis hukuman berat atau lebih dari 10 tahun hanyalah 9 terdakwa (0,77 persen).
Baca: Minat Beli Skutik Listrik Gesits Made In Indonesia di IIMS 2019? Cukup Siapkan DP Rp 500 Ribu
"Dari 918 terdakwa putusan ringan, 749 ada di pengadilan negeri, 159 di tingkat pengadilan tinggi, dan 10 di Mahkamah Agung," jelasnya.
Ia juga mencermati adanya perbedaan rata-rata putusan pidana penjara di tingkat pengadilan. Ia menyebut putusan rata-rata di Pengadilan Negeri adalah 2 tahun 3 bulan. Pengadilan Tinggi memiliki putusan rata-rata 2 tahun 8 bulan, sementara Mahkamah Agung dengan putusan rata-rata 5 tahun 9 bulan.
"Rata-rata keseluruhan pidana penjara rata-rata 2 tahun 5 bulan," tukasnya.
Adapun data itu dikumpulkan ICW melalui beberapa sumber, antara lain data putusan kasus korupsi situs resmi Mahkamah Agung (MA).
Kemudian melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri, serta informasi putusan banding beberapa pengadilan tinggi, yang semuanya diambil pada tahun 2018.
Soroti SIPP
Lalola Easter juga menyebut masih rendahnya keterbukaan dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) untuk pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA).
Dalam penelitiannya, ia melihat SIPP kedua lembaga itu belum dapat diakses publik secara luas dan hanya terbatas bagi kalangan internal semata.
"SIPP untuk pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung masih terbatas untuk kalangan internal saja. Beberapa pengadilan tinggi sudah berinisiatif baik dengan mengembangkan laman serupa SIPP, namun belum diikuti oleh seluruh pengadilan tinggi," ujar Lalola, di Kantor ICW, Jl Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Di sisi lain, Lalola juga memberikan usulan kepada pemerintah agar kasus suap tidak digabung atau turut disatukan dalam tindak pidana korupsi.
Baca: ICW Soroti Vonis Ringan Pengadilan Kepada 79 Persen Terdakwa Korupsi di Tahun 2018
Menurutnya, pemerintah dapat mengalihkan kasus suap dengan hukuman di luar pidana, antara lain dengan pemecatan atau mutasi.
"Perlu dipikirkan mekanisme untuk tidak serta merta membawa masalah pungli dengan pendekatan hukum pidana," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti adanya tren putusan pengadilan yang memvonis ringan para terdakwa kasus tindak pidana korupsi pada tahun 2018.
Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan 79 persen terdakwa korupsi hanya mendapatkan vonis ringan dengan putusan berkisar antara 1 hingga 4 tahun penjara.
"Berdasarkan pemantauan ICW pada 2018, ada 1.053 perkara dengan 1.162 terdakwa yang diputus pada ketiga tingkatan pengadilan," ujar Laola, di Kantor ICW, Jl Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Laola mengungkap bahwa sebanyak 918 terdakwa (79 persen) divonis dengan hukuman ringan yakni 1 hingga 4 tahun.
180 terdakwa lainnya (15,4 persen) divonis hukuman sedang antara 4 hingga 10 tahun. Sementara yang menerima vonis hukuman berat atau lebih dari 10 tahun hanyalah 9 terdakwa (0,77 persen).
"Dari 918 terdakwa putusan ringan, 749 ada di pengadilan negeri, 159 di tingkat pengadilan tinggi, dan 10 di Mahkamah Agung," jelasnya.
Ia juga mencermati adanya perbedaan rata-rata putusan pidana penjara di tingkat pengadilan. Ia menyebut putusan rata-rata di Pengadilan Negeri adalah 2 tahun 3 bulan. Pengadilan Tinggi memiliki putusan rata-rata 2 tahun 8 bulan, sementara Mahkamah Agung dengan putusan rata-rata 5 tahun 9 bulan.
"Rata-rata keseluruhan pidana penjara rata-rata 2 tahun 5 bulan," tukasnya.
Adapun data itu dikumpulkan ICW melalui beberapa sumber, antara lain data putusan kasus korupsi situs resmi Mahkamah Agung (MA).
Kemudian melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri, serta informasi putusan banding beberapa pengadilan tinggi, yang semuanya diambil pada tahun 2018.