Penasihat Hukum: Sofyan Basir Akan Kooperatif dengan KPK
Sampai saat ini, dia mengaku, belum mengetahui dasar penyidik KPK menetapkan kliennya sebagai tersangka.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sofyan Basir, tersangka kasus dugaan suap kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau akan bersikap kooperatif selama menjalani proses pemeriksaan perkara di KPK.
Pernyataan itu disampaikan Soesilo Aribowo, selaku penasihat hukum tersangka Sofyan Basir.
"Pak Sofyan, saya kira warga negara yang baik. Beliau akan kooperatif dengan KPK," kata Soesilo Aribowo, kepada wartawan, ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Dia meyakini, Direktur Utama PLN nonaktif itu tidak bersalah di kasus itu.
Dia menegaskan, kliennya tidak pernah membantu mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sampai saat ini, dia mengaku, belum mengetahui dasar penyidik KPK menetapkan kliennya sebagai tersangka.
Meskipun begitu, kata dia, kliennya akan bersikap kooperatif selama menjalani proses hukum.
"Tentu kami sebagai penasihat hukumnya masih bertanya dua alat buktinya yang mana begitu. Saya belum mendapat jawaban. Mungkin nanti ketika ada pemeriksaan, saya kira penyidik atau KPK biasanya akan menjelaskan," tambahnya.
Baca: Kontras: Polisi Perlu Tunjukkan Bukti Kalau Massa Berbaju Hitam Bawa Senjata Tajam dan Miras
Dalam kasus ini, Sofyan diduga bersama-sama atau membantu mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
KPK menduga Sofyan dijanjikan mendapat fee yang sama besar dengan Eni dan Idrus Marham.
Keterlibatan Sofyan dalam kasus ini bermula pada Oktober 2015. Saat itu Direktur PT Samantaka Batubara mengirimkan surat pada PT PLN (Persero) yang pada pokoknya memohon pada PLN agar memasukan proyek dimaksud ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Namun, tak ada tanggapan hingga akhirnya Johannes Kotjo mencari bantuan agar diberikan jalan untuk berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1.
Diduga telah terjadi sejumlah pertemuan yang dihadiri oleh Sofyan, Eni dan Kotjo untuk membahas proyek senilai USD 900 juta tersebut.
Setelah sejumlah pertemuan, ada 2016, Sofyan lantas menunjuk Johannes untuk mengerjakan proyek di Riau-1 karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.
Padahal, saat itu belum terbit Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK).
Kemudian, PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 MW masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. Johannes pun meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka.
Selanjutnya, Sofyan diduga menyuruh salah satu Direktur PT PLN agar PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC segera direalisasikan.