Ajukan Praperadilan, Rommy Anggap Penetapan Tersangka Tidak Sah
Selain hal tersebut, tim kuasa hukum meminta agar Romy dibebaskan dari tahanan di Rutan KPK.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengacara tersangka kasus dugaan suap, Romahurmuziy atau Rommy, yang dipimpin oleh Maqdir Ismail membacakan poin permohonan gugatan praperadilan kliennya.
Dalam pembacaan gugatannya, tim kuasa hukum menyebut penetapan tersangka, surat penyitaan, hingga penahanan Rommy tidak sah.
"Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri pemohon oleh termohon, termasuk Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penyitaan, dan Surat Perintah Penahanan Nomor: Sprin.Han/12/DIK.01.03/01/03/ 2019 tanggal 16 Maret 2019," ujar Maqdir dalam persidangan di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (6/5/2019).
Selain hal tersebut, tim kuasa hukum meminta agar Romy dibebaskan dari tahanan di Rutan KPK.
Dalam persidangan, tim kuasa hukum menyampaikan sejumlah poin alasan hakim harus memenuhi gugatan kuasa hukum.
Alasan pertama mereka menilai KPK telah melakukan tindakan di luar hukum. Tim beralasan, penyidik sudah melakukan penyadapan padahal surat penyelidikan yang diterbitkan tidak diketahui dalam penyelidikan terhadap siapa dan perkara yang dimaksud.
Kemudian, tim kuasa hukum beranggapan KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara Rommy. Sebab, uang hasil operasi tangkap tangan dari salah satu tersangka Muhammad Muafaq Wirahadi hanya Rp 50 juta.
Baca: Pengacara Sebut OTT KPK Terhadap Romahurmuziy Tidak Sah
Hal tersebut dianggap bukan wewenang KPK karena pasal 11 UU KPK menyatakan KPK berwenang memroses perkara korupsi jika melibatkan penegak hukum, penyelenggara negafa dan kaitan korupsi yang melibatkan penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian atau meresahkan masyarakat; dan menyangkut kerugian negara minimal Rp 1 miliar.
Perbuatan Romy dianggap tidak menimbulkan kerugian negara dan tidak ada hubungan penyalahgunaan kekuasaan.
Kemudian, KPK dianggap tidak berwenang melakukan operasi tangkap tangna. Mereka mengacu kepada pasal 18 ayat 2 KUHAP menyatakan penangkapan harus disertai barang bukti yang diserahkan kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
Mereka melihat penyidik sudah menguasai barang sitaan penyelidik padahal secara hukum KPK seharusnya menyerahkan Romy ke penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
"Menyatakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh termohon terhadap pemohon terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yaitu penerimaan hadiah atau janji terkait seleksi jabatan pada Kementerian Agama RI tahun 2018-2019, adalah premature atau belum waktu/saatnya," tutur Maqdir.
Terakhir, tim kuasa hukum melihat Romy sudah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan sprindik per 16 Maret 2109 tanpa ada pengumpulan bukti sesuai pasal 1 dan pasal 2 KUHAP.
Kemudian, KPK juga tidak membuka ruang bagi Romy untuk melaporkan penerimaan kepada KPK demi memenuhi ketentuan pasal 12B UU Tipikor. KPK justru langsung dinyatakan sebagai tersangka.
Baca: Menteri Agama: Insya Allah Saya Akan Hadir ke KPK
Tim kuasa hukum melihat penetapan Romy sebagai tersangka tidak berdasarkan hukum karena dua alat bukti yang sah sebagaimana pasal 183 jo pasal 184 KUHAP jo pasal 44 ayat 1 dan ayat 2 UU 30 tahun 2002 tentang KPK tidak ditemukan proses penyidikan sesuai sprindik nomor Sprin.Dik/18/DIK.00/01/03/ 2019).
Seperti diketahui, Rommy ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Selain Rommy dua orang lainnya yang menjadi tersangka yakni Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi, dan Kepala Kantor Wilayah Kemenang Jawa Timur, Haris Hasanuddin.
Dalam kasus ini Rommy diduga bersama pihak Kementerian Agama menentukan hasil seleksi jabatan tinggi di Kemenag.
Akibat perbuatannya, Rommy dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan Muafaq Wirahadi dan Haris Hasanuddin disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.