PDIP : Rachmawati Tak Paham Konteks dan Penuh Syak Wasangka
Hasto Kristiyanto mengingatkan kembali bagaimana kepemimpinan transisi antara Gus Dur dan Megawati saat itu dihadapkan pada persoalan yang kompleks
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kriatiyanto menanggapi pernyataan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Rachmawati Soekarnoputri yang mengungkapkan kembali terhadap persoalan Kapolri di era Gus Dur sangat kurang elok, tidak memahami konteks, terlalu melebar, dan penuh syak wasangka.
"Kami sangat menyayangkan pernyataan tersebut. Ibu Rachma sering membuat pernyataan yang kurang simpatik. Rakyat juga mencatat bagaimana Ibu Rachma sendiri sering tidak tepat di dalam memahami harapan rakyat terhadap sosok pemimpin bangsa," kata Hasto dalam keterangan, Rabu (15/5/2019).
Baca: Rachmawati Soekarnoputri Tuduh Balik Penganut Ideologi Khilafah Ada di Lingkaran Jokowi
"Terbukti Pak Jokowi selalu dipilih rakyat dari walikota, gubernur, dan terpilih sebagai presiden secara syah melalui dua kali pemilu dimana rakyat benar-benar berdaulat," tambah Hasto.
Hasto Kristiyanto mengingatkan kembali bagaimana kepemimpinan transisi antara Gus Dur dan Megawati saat itu dihadapkan pada persoalan yang kompleks.
Saat itu, kata Hasto Kristiyanto, krisis multidimensional terjadi. Semua persoalan krisis finansial, ekonomi, politik, sosial, dan bahkan ancaman desintegrasi terjadi.
"Pak Amien Rais sangat paham terhadap apa yang terjadi. Lalu apa yang dilakukan Ibu Rachma saat itu? Praktis tidak ada. Akhirnya, semua krisis bisa diselesaikan dengan baik karena Ibu Megawati taat konstitusi dan menjalankan tugas pemerintahan sesuai dengan kebijakan MPR. Sebab saat itu kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara," jelas Hasto Kristiyanto.
Sekertaris TKN Jokowi-Maruf ini pun meminta semua pihak seharusnya melihat dengan jernih apa yang terjadi dengan dualisme kepemimpinan POLRI saat itu, antara Bimantara dan Chaerudin.
"Ketika Ibu Megawati mengukuhkan kembali Pak Bimantara, Beliau telah dikukuhkan oleh MPR sebagai Presiden. Tujuannya pun sangat jelas, menghentikan keresahan internal POLRI. Soliditas POLRI sangatlah penting di dalam menciptakan rasa aman dan ketentraman masyarakat, terlebih menghadapi situasi politik saat itu seperti konflik di Maluku," papar Hasto Kristiyanto.
Ia pun menyebut, atas tuduhan pembangkangan juga tidak terbukti. Sebab tidak pernah ada perintah pelantikan Kapolri, karena itu diluar kewenangan Beliau sebagai wapres.
"Langkah yang paling bijak, sebaiknya Ibu Rachmawati melihat ke dalam, melakukan otokritik, daripada memerkeruh suasana. Ucapan Ibu Rachma kurang pas. Kasihan Beliau tidak melihat persoalan bangsa dengan jernih. Selama ini rakyat juga mencatat, bagaimana pandangan politik Ibu Rachma selalu tidak tepat," tutup Hasto Kristiyanto.
Sebelumnya, Rachmawati Soekarnoputri membandingkan tuduhan makar atas Kivlan Zen dengan Megawati Soekarnoputri pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Baca: Sejumlah Fakta Rumah Pribadi Menteri Basuki : Tinggal Sejak Tahun 1900-an Hingga Rela Rumah Digusur
Menurut Rachmawati, Megawati yang saat itu merupakan Wakil Presiden telah membangkang dari perintah Presiden Gus Dur untuk melantik Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri.
"Kalau mau bicara secara objektif, yang disebut makar itu adalah Megawati Soekarnoputri. Ketika Gus Dur memerintah, Gus Dur sudah mengatakan memilih Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri, tapi Megawati melakukan insubordinasi pembangkangan terhadap Presiden. Dia melakukan apa yang dipilih adalah Bimantoro (Surojo Bimantoro)," kata Rachmawati di kediamannya, di kawasan Jakarta Selatan, Senin (13/5/2019).