Amien Rais Dinilai Terobsesi Keberhasilan Reformasi 98, Padahal Saat Ini Situasinya Beda
Menurut Koentjoro, Rais seharusnya bertanggung jawab dengan seruannya itu yang belakangan menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof Koentjoro menilai sikap politisi Partai Amanat Nasional Amien Rais menyerukan people power karena terobsesi keberhasilannya saat ikut menggerakkan reformasi 1998.
"Menurut saya beliau terobsesi dengan usaha beliau yang berhasil pada 1998, ada satu gerakan transfer of learning dan berhasil," kata Koentjoro, di Balairung Gedung Pusat, UGM, Yogyakarta, Jumat (24/5/2019) seperti dikutip Tribunnews.com dari Wartakota.
Menurut Koentjoro, Amien Rais seharusnya bertanggung jawab dengan seruannya itu yang belakangan menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat.
Bagi Koentjoro, seruan dia dikeluarkan dalam situasi yang sudah jauh berbeda dengan masa reformasi 98.
Baca: Amien Rais: People Power Itu Enteng-entengan
Baca: Dua Pedagang yang Jualannya Dijarah Perusuh 22 Mei Tersenyum Setelah Bertemu Jokowi
Baca: Di Gedung Mahkamah Konstitusi, Tim Hukum Prabowo-Sandi Bertanya Apa Maksudnya Diblokade Seperti Ini
Karena seruan itu dikeluarkan dalam konteks situasi yang tidak sama dengan masa 1998 pada saat rezim Soeharto.
Akibatnya, menurut Koentjoro, seruan itu tidak memiliki pengaruh apa-apa.
"Situasinya berbeda. Kalau dulu khan Pak Harto memang begitu. Masyarakat kemudian kompak karena seluruhnya mengalami (ketidakadilan), tetapi ini kan tidak," kata dia.
Menurut Koentjoro, dalam ilmu psikologi dikenal adanya teori frustasi agresi yakni semakin masyarakat merasa frustasi maka saat itu pula mereka semakin memiliki perilaku agresi.
Sayangnya, kata dia, agresivitas masyarakat dalam kerusuhan 22 Mei 2019 yang merupakan buah dari seruan Amien Rais tersebut bukan disebabkan masyarakat frustasi.
"Tapi karena masyarakar dibayar. Polisi telah menemukan bukti, perusuh dibayar. Sehingga mereka bekerja tidak sepenuh hati," kata dia.
Oleh sebab itu, menurut dia, sebagai pemimpin aksi atau demonstrasi pada 22 Mei yang menentang keputusan KPU seharusnya tampil di depan mengendalikan situasi agar tidak terjadi kerusuhan.
"Masyarakat bingung ini kedaulatan rakyat atau kerusuhan," kata dia.
Diperiksa polisi
Amien Rais diperiksa selama kurang lebih 10 jam oleh penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Jumat (24/5/2019) kemarin.
Ia dicecar 37 pertanyaan terkait kasus makar atas seruan people power yang dilontarkan tersangka Eggi Sudjana.
Amien menyampaikan kepada penyidik bahwa people power tidak ada kaitannya dengan upaya menjatuhkan pemerintah atau kepala negara.
"People power itu enteng-entengan. Jadi bukan seperti people power yang mau mengganti rezim atau menjatuhkan presiden. Sama sekali bukan," kata Amien kepada awak media di Polda Metro Jaya seperti dilansir dari Kompas.com.
Baca: Setelah MK, Tim Prabowo-Sandi Berencana Bawa Kasus Pilpres ke Mahkamah Internasional
Baca: Tim Hukum Prabowo-Sandi Keluhkan Pengeras Suara di Gedung MK, Bunyinya Kresek-kresek
Amien menyebut gerakan people power itu diatur dalam undang-undang selama tidak merugikan negara dan menimbulkan kehancuran.
"Saya mengatakan people power itu konstitusional, demokratis dan dijamin oleh HAM. Gerakan rakyat yang sampai menimbulkan kerugian, bentrok, atau kehancuran bagi negara itu jelas enggak boleh," ungkap Amien.
Hari ini merupakan panggilan kedua pemeriksaan Amien Rais.
Sebelumnya, Amien mangkir dari panggilan pertama penyidik pada 20 Mei dengan alasan memiliki kesibukan lain.
Sementara itu, penyidik telah meminta keterangan dua saksi untuk kasus makar Eggi, yakni mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen (Purn) Kivlan Zen dan politikus Partai Gerindra, Permadi Satrio Wiwoho atau biasa dikenal Permadi (74).
Eggi resmi ditahan selama 20 hari ke depan sejak 14 Mei.
Keputusan penahanan dikeluarkan setelah Eggi menjalani pemeriksaan lebih dari 30 jam sejak 13 Mei pukul 16.30.
Eggi ditetapkan sebagai tersangka makar terkait seruan people power.
Eggi dijerat Pasal 107 KUHP dan/atau Pasal 110 KUHP jo Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 14 Ayat 1 dan Ayat 2 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Bukan Tanggung Jawab UGM
Rektor Universitas Gadjah Mada Panut Mulyono menyebut politikus senior Amien Rais saat ini sudah tidak ada hubungannya lagi dengan UGM.
Menurut Panut secara institusi Amien Rais purnatugas dari kampus UGM.
"Secara struktur organisasi pun (Amien Rais) sudah tidak memiliki ikatan lagi dengan UGM," katanya, Jumat (24/5).
Panut menambahkan dengan status tersebut, maka pihak universitas tak ikut bertanggung jawab terhadap apapun pernyataan Amien Rais.
Baik pernyataan tersebut di ranah politik, pilpres atau pernyataan yang dilontarkan Amien Rais ke publik.
"Apapun pernyataan yang dilontarkan oleh Amien Rais jelas menjadi tanggung jawab pribadi, bukan lagi tanggung jawab universitas," ujar Panut.
Ketua Dewan Guru Besar UGM Profesor Koentjoro mengatakan status Guru Besar yang disandang Amien Rais tidak berlaku lagi.
Menurut Koentjoro jabatan Guru Besar hanya berlaku secara akademik, alias di lingkungan UGM saja.
"Beliau saat ini sudah pensiun, jadi seharusnya jabatan sebagai Guru Besar otomatis juga hilang," kata Koentjoro, Jumat (24/5).
Menurut laman resmi Keluarga Alumni FISIPOL UGM (Kafispol Gama), Amien Rais diketahui memang memiliki gelar Guru Besar UGM di bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Amien Rais juga diketahui merupakan lulusan jurusan Hubungan Internasional angkatan 1962.
Dosen FISIPOL UGM Mochtar Masoed turut menegaskan Amien Rais adalah warga bebas. Pihak UGM menyatakan menjunjung tinggi nilai kebebasan seseorang, termasuk dalam hal menyampaikan pendapat.
"Siapapun juga tidak bisa mengendalikan pikiran seseorang," kata Mochtar.