Otto Hasibuan: Kasus BLBI untuk SN Sudah Daluwarsa
"Saya baru dengar kalau sudah ada penetapan tersangka oleh KPK. Tapi saya tidak bisa komentari lebih jauh."
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum pengusaha Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan mengaku tidak mengetahui adanya penetapan tersangka terhadap kliennya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurut Otto, secara pribadi dia sendiri baru mendapatkan kuasa dari Sjamsul Nursalim sebagai kuasa hukum untuk gugatan perdata melawan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia BPK RI di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang.
"Saya baru dengar kalau sudah ada penetapan tersangka oleh KPK. Tapi saya tidak bisa komentari lebih jauh, karena kapasitas saya saat ini adalah kuasa hukum Pak Sjamsul Nursalim untuk perkara gugatan perdata melawan BPK di PN Tangerang. Saya belum mendapatkan kuasa untuk perkara pidananya," ungkap Otto saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Rabu (29/5/2019) malam.
Baca: PPATK Tunggu Permintaan Polri Soal Aliran Dana Kerusuhan 22 Mei
Baca: Setelah Kenakan Rompi Oranye, Sofyan Basir Terus Dikorek KPK
Meski demikian, sebagai pakar hukum pidana Otto Hasibuan melihat tidak ada relevansinya antara kasus pemberian SKL BLBI yang dikeluarkan oleh mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dengan Sjamsul Nursalim (SN).
"Saya melihat sebenarnya tidak ada hubungannya jika perkara SAT kemudian dikaitkan kembali dengan SN, karena penyelesaian BLBI yang melibatkan SN sudah selesai pada tahun 1998 sesuai perjanjian MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement)," katanya.
"Bahkan hal tersebut telah ditegaskan pemerintah dalam akta notaris yang dibuat sekitar Mei 1998. Sementara SKL yang diterbitkan oleh SAT hanya penegasan di tahun 2004. Artinya kalau mau dihubungkan dengan SN, secara hukum kasusnya sudah daluwarsa," ujar Otto yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Dia menambahkan, terkait soal aset BLBI yang dikelola oleh Perusahaan Pengelola Aset yang menjual tagihan hutang petambak pada tahun 2007 kliennya tidak bisa dipersalahkan, karena kliennya tersebut sudah menyelesaikan segala kewajibannya di tahun 1998.
"Dengan dikeluarkannya MSAA, segala kewajiban sudah diselesaikan SN dan pemerintah sudah memberikan jaminan tidak akan menyelidiki dan menuntut SN secara pidana. Lagi pula masa barang yang sudah dijual oleh PPA ditagihkan ke SN," pungkasnya.
Gugatan Perdata
Sebelumnya Otto Hasibuan mengungkapkan bahwa pada awalnya kliennya, SN sama sekali tidak ada niat untuk menggugat I Nyoman Wara selaku auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta BPK sebagai institusi yang menerbitkan laporan hasil audit No.12/LHP/XXI/08/2017.
Seperti diketahui, laporan hasil Audit BPK 2017 itu pula yang kemudian dijadikan dasar oleh KPK untuk menjerat SAT atas dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada SN selaku pemegang saham pengendali BDNI.
"Klien kami sebenarnya tidak ada niat untuk menggugat BPK, namun setelah mencermati pertimbangan hakim dalam perkara SAT, kekeliruan atau kesalahan fatal dalam proses Audit BPK 2017 sama sekali tidak mendapat perhatian. Hasil audit tersebut diterima begitu saja," ungkap Otto beberapa waktu yang lalu menjawab pertanyaan wartawan usai menghadiri sidang gugatan perdana yang berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, Rabu (6/3/2019).
Otto juga menjelaskan, gugatan dengan nomor perkara 144/Pdt.G/2019/PN Tng yang telah didaftarkan sejak (12/2/2019) tersebut didaftarkannya ke PN Tangerang karena
I Nyoman Wara selaku Tergugat I sendiri berdomisili di Tangerang.
I Nyoman Wara juga pernah dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Jaksa KPK saat persidangan SAT, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, (6/8/2018) lalu.
Ketika ditanya kenapa pihak Sjamsul Nursalim hanya menggugat BPK, Otto menegaskan bahwa gugatan diajukan karena ada isi Audit BPK 2017 yang dibuat oleh pihak Tergugat tersebut banyak merugikan kliennya.
"Alasan pertama, karena audit BPK tahun 2017 itu menyimpulkan adanya kerugian negara terkait misrepresentasi atas MSAA yang dilakukan klien kami. Padahal audit tersebut dilaksanakan dengan melanggar UU dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara," tegasnya.
Alasan kedua, lanjut Otto, pihak Tergugat I, sebagai auditor BPK dalam pelaksanaan auditnya dinilai tidak independen, objektif dan profesional karena membatasi diri hanya menggunakan data dari satu sumber, yaitu penyidik KPK, tanpa melakukan konfirmasi dan klarifikasi dengan pihak-pihak terkait. Padahal menurut Otto, konfirmasi dan klarifikasi adalah hal essential yang wajib dilakukan dalam suatu proses audit.
"Alasan ketiga, akibat pelanggaran atau kesalahan dalam melakukan audit tersebut menyebabkan kesimpulan laporan audit BPK 2017 bertentangan dengan laporan audit BPK sebelumnya, yaitu laporan audit investigasi BPK 2002 dan audit BPK 2006 yang intinya menyatakan klien kami telah menyelesaikan kewajibannya berdasarkan MSAA," ungkapnya. (*)