Sidang Sengketa Tanah Roxy, Hakim Meminta Berdamai
Sidang lanjutan kasus sengketa tanah seluas 29,361 hektare di kawasan Roxy, Jakarta antara pihak penggugat dari ahli waris dengan tergugat
Editor: FX Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan kasus sengketa tanah seluas 29,361 hektare di kawasan Roxy, Jakarta antara pihak penggugat dari ahli waris dengan tergugat PT Duta Pertiwi Tbk dan Badan Pertahanan Nasional (BPN) Jakarta Pusat yang berlangsung, Selasa (11/6/2019) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan agenda putusan terpaksa ditunda hingga dua pekan ke depan.
Pimpinan siding dengan Hakim Ketua, John Tony Hutauruk langsung menyatakan keputusan jika sidang ditunda hingga tanggal 25 Juni 2019.
"Ini baru libur Lebaran, dan hakim anggota masih ada yang cuti, maka kita tunda sidang ini hingga 25 Juni mendatang," ungkap Hakim Ketua, John Tony Hutauruk yang dilanjutkan dengan mengetuk palunya.
Hakim Ketua, John Tony Hutauruk sempat mengungkapkan harapannya agar dalam dua pekan ke depan sebelum persidangan, pihak-pihak yang bersengketa bisa menyelesaikan permasalahannya secara kekeluargaan atau berdamai.
Usai persidangan, penasihat hukum ahli waris, Wellyantina Waloni SH menyambut terbuka anjuran dari Hakim Ketua untuk berdamai dengan pihak tergugat.
"Tadi secara tersirat sebenarnya kita ini di pihak yang benar, kalau tidak benar enggak mungkin majelis hakim menganjurkan untuk berdamai," kata dia saat ditemui luar ruang sidang PN Jakarta Pusat,
"Dari keluarga berharap Duta Pertiwi itu ada niat atau iktikad baik, artinya berdamailah. Sebagaimana juga majelis hakim sudah mengajurkan untuk berdamai, dan itu tidak sekali, berkali-kali majelis hakim sudah meminta agar berdamai," sambung Wellyantina.
Menurutnya, berdamai merupakan win-win solution, karena pihaknya memahami jika Duta Pertiwi telah mengeluarkan dana buat para penggarap. "Sudah membayar para penggarap untuk mengosongkan lahan, tapi yang belum dibayarkan adalah hak milik dari ahli waris," usai wanita yang gigih memperjuangkan hak para ahli waris tanah hektaran tersebut.
Disebutkan juga bahwa saat awal sidang mediasi Oktober tahun lalu, pihak penggugat menawarkan penggantian sebesar Rp8 juta per petak, yang dari awalnya Rp12 juta. Namun, tawaran tersebut menolak, dan berkeinginan untuk melanjutkan sidang.
"Kita bisa rembukan masalah harga, memang harga NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) itu Rp28 juta per meter untuk yang di depan, terus ada yang 17, 18, sampai yang paling belakang yang sudah masuk wilayah Tambora atau pasar Tambora itu harganya 7 juta. Tapi kita bisa negosiasi lah.. realistis... kami juga sudah memahami ya. Artinya kita juga tidak dalam rangka mau memeras pihak Duta Pertiwi, tidak. Hanya berikanlah secara wajar," papar Wellyantina.
Untuk selanjutnya, Wellyantina masih menunggu respons dari pihak tergugat. Apabila tidak ada respons, maka pihaknya enggan memaksa pihak Duta Pertiwi untuk berdamai. Terlepas dari hal itu, Wellyantina merasa aneh, karena data yang dimiliki tergugat berdasarkan surat pernyataan.
"Ketika kita minta dasar menerbitkan sertifikat (untuk Duta Pertiwi), itu dari BPN enggak ada dasarnya. Tetapi bukti dari pihak Duta Pertiwi, itu buktinya hanya surat pernyataan, bukan hak. Itu kan kalau pemilik tanah kan harusnya ada Hak Pakai, Hak Guna Bangunan, Hak Milik atau Hak Guna Usaha, tapi ini tidak ada, hanya pernyataan dari warga," terangnya.
Sementara itu, Wellyantina juga mengungkapkan, sebagian tanah yang berkasus itu sudah tercatat di Verponding Indonesia (sebutan untuk catatan tanah di awal kemerdekaan). Salah satu buktinya, BPN pernah menerbitkan sertifikat untuk tanah milik saudara ahli waris yang lokasinya berdekatan dan sama-sama tercatat dalam Verponding Indonesia.