Hakim MK Ini Mengaku Terkantuk-kantuk, Berikut Fakta Menarik Lainnya Sidang PHPU Hingga Dini Hari
Sidang ketiga selesai sekira pukul 05.00 WIB kemudian dilanjut pukul 13.00 WIB membuat seorang hakim terlihat kelelahan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang ketiga Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa hasil Pilpres 2019 berlangsung cukup panjang.
Dimulai pada Rabu (19/6/2019) pagi dan ditutup pada Kamis (20/6/2019) subuh, sekira pukul 05.00 WIB.
Baca: Momen Saat Sidang MK Ditutup Pas Adzan Subuh, Penyebutan Baginda Hingga Saksi Kebelet Pipis
Jadwal sidang keempat hari ini dimulai pada pukul 13.00 WIB, dengan agenda Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Termohon Serta Pengesahan Alat Bukti (tambahan) Termohon.
Baik Pemohon, Termohon, Pihak Terkait hingga Majelis Hakim memiliki waktu istirahat sekira 7 hingga 8 jam.
Dalam pesidangan kali ini, wajah salah satu hakim Mahakamah Konstitusi (MK) tampak kelelahan di sidang ke 4 sengketa Pilpres 2019.
Wajah kelelahan itu terlihat pada salah satu hakim konstitusi Suhartoyo.
Awalnya, hampir keseluruhan hakim telah bertanya pada ahli yang diajukan pihak KPU Prof Dr Ir Marsudi Wahyu Kisworo.
Terakhir hakim Wahiduddin Adams sudah menanyakan soal situng kepada Marsudi.
Wahiduddin pun mempersilkan hakim lain untuk bertanya kepada ahli.
Namun, disaat Wahiduddin akan mempersilakan hakim Suhartoyo untuk memberikan pertanyaan kepada ahli, persidangan sempat terjeda beberapa detik.
Terlihat beberapa kuasa hukum dan saksi pun menahan tawa.
Saat jeda sesaat sidang tersebut.
Suhartoyo pun langsung menanggapi Wahiduddin.
Telapak tangannya langsung mengusap wajahnya.
Suhartoyo pun sempat menyindir Wahiduddin yang menggilir pemberian pertanyaan ke Suhartoyo.
“Ini hakim juga harus menjaga etika, jadi memberi kesempatan yang lebih tua,” kata Suhartoyo masih dengan suara lemas seperti ditayangkan Kompas Tv Kamis (20/6/2019).
Suhartoyo pun langsung mengungkit sidang ke-3 yang berlangsung hingga subuh tadi.
“Jadi saya begini, saya tadi pagi, kalau tidak boleh katakan sebut tadi malam, sambil terkantuk-kantuk saya tertarik dengan apa yang disampaikan kuasa hukum pihak terkait Pak Yusril ini,” jelas Suhartoyo membuka pertanyaannya.
Namun saat mengemukakan ke inti pertanyaan suara hakim Suhartoyo kembali terlihat segar.
Ia menanyakan soal kemungkinan Marsudi yang sudah memprediksi akan adanya perbandingan data Situng saat merancang sistem teknologi tersebut.
“Apakah dari kelembagaan sudah ambil langkah-langkah untuk uji adanya dugaan jika nanti ada yang compare data tersebut,” kata hakim Suhartoyo.
Seperti diberitakan Tribunnews sebelumnya persidangan sengketa Pilpres 2019 yang digelar Rabu (19/6/2019) berlangsung hingga 20 jam.
Suara adzan subuh sayup-sayup terdengar di lobi lantai 1 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat pada Kamis (20/6/2019) pukul 04.40 WIB.
Suara adzan tersebut bersamaan dengan suara kuasa hukum paslon 01 yang masih memeriksa pendapat ahli IT kuasa hukum 02 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Setelah mengesahkan sejumlah alat bukti pihak paslon 02, Anwar kemudian memutuskan untuk melanjutkan persidangan pada pukul hari yang sama pukul 13.00 WIB.
Dilansir Kompas.com, berikut sejumlah fakta persidangan yang menarik untuk diingat kembali :
1. Penolakan Haris Azhar
Keterangan AKP Sulman Aziz yang disampaikan kepada aktivis hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar masuk dalam dalil permohonan tim hukum pasangan Prabowo-Sandiaga atas tuduhan terjadinya pelanggaran netralitas Polri pada penyelenggaraan Pemilu 2019.
Haris Azhar tidak mau menjadi saksi yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandiaga dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019.
Baca: Tidak Hadir, Kuasa Hukum Prabowo-Sandi Sebut Keterangan Haris Azhar Penting
Haris Azhar menyampaikan surat kepada Majelis Hakim MK tertanggal 19 Juni 2019.
Meskipun menolak menjadi saksi, Haris mengaku pernah memberikan bantuan hukum kepada AKP Sulman Aziz terkait dugaan perintah Kapolres Garut melakukan penggalangan dukungan bagi pasangan calon nomor urut 01 Jokowi-Maruf Amin.
Dikabarkan, AKP Sulman Aziz memberikan data pemetaan wilayah dan nama anggota polisi yang diarahkan dalam aksi penggalangan dukungan bagi calon petahana.
Akan tetapi, hal tersebut dilakukan Haris berdasarkan profesinya sebagai advokat.
Baca: Kominfo Jatim Nilai Pemasangan CCTV di Atas Kali Efektif Tingkatkan Kesadaran Warga Soal Lingkungan
Menurut Haris azhar, apa yang dilakukannya berdasarkan pada hasil kerja advokasi, kecocokan fakta atas dugaan yang terjadi, serta nilai profesionalitas dan netralitas Polri.
Haris menegaskan, dia tetap menjadi bagian dari masyarakat sipil yang menuntut akuntabilitas pemerintah dalam penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu.
2. Soal opini publik
Sidang pada Rabu (19/6/2019) memang berjalan hingga pukul 05.00 WIB.
Persidangan yang melewati tengah malam ini membuat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman meminta tak ada opini negatif dan menjadi informasi tak benar.
Baca: Politisi Golkar Dave Laksono: Airlangga Hartarto Layak Maju Capres 2024
"Jangan sampai dijadikan opini publik, sidang MK dipaksakan sampai tengah malam, saat sunyi senyap, ketika masyarakat sedang tidur," kata Arief.
Seperti diketahui, rekapitulasi hasil pemungutan suara, baik di tempat pemungutan suara, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, maupun ketika rekapitulasi nasional, dilakukan hingga tengah malam.
3. Dana desa
Saksi tim hukum pasangan Prabowo-Sandiaga, Fakhrida Arianty, mengaku mendapatkan arahan guna mengampanyekan dana desa yang diklaim menjadi salah satu keberhasilan pemerintahan Jokowi.
Fakhrida berprofesi sebagai tenaga ahli pemberdayaan masyarakat di Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
Baca: Unggah Bendera Indonesia Terbalik, Akun Instagram Media Afghanistan Diserang Warganet
Fakhrida menyampaikan, arahan kampanye berasal dari grup WhatsApp yang beranggotakan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat desa P3MD Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
Meskipun begitu, menurut dia, tak ada ajakan untuk memilih pasangan calon tertentu.
4. Kacamata hitam
Tampilan para saksi yang dihadirkan pada sidang sengketa Pilpres 2019 mendapatkan perhatian dari para hakim.
Salah satunya, hakim Konstitusi Saldi Isra yang menyinggung saksi, yaitu Ketua Sekretariat Bersama Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Sandiaga Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, Rahmadsyah Sitompul karena selama persidangan menggunakan kacamata hitam.
Baca: BREAKING NEWS : Geger Temuan Bayi Laki-laki di Bawah Pohon Pisang yang Dikerumi Semut
"Saksi Rahmadsyah, saya puji dulu, malam-malam begini masih pakai kacamata hitam," kata Saldi.
Sidang terus berlanjut dan saksi tak kunjung melepas kacamata hitamnya, membuat salah satu hakim menegur untuk melepas kacamata yang dikenakannya.
5. Amplop
KPU menemukan kejanggalan pada bukti amplop yang ditunjukkan saksi tim Prabowo-Sandiaga, Beti Kristiana. Beti menunjukkan sejumlah amplop surat suara yang digunakan pada Pemilu 2019 di mana amplop dianggap pembungkus formulir C1.
Menurut Beti, amplop ditemukan dalam jumlah banyak di sampah salah satu kecamatan di Boyolali, Jawa Tengah.
Baca: Balita 20 Bulan Tewas di Kalbar : Diduga Dibunuh Kakak Angkat dan Ada Indikasi Kekerasan Seksual
Beti melakukan pengumpulan amplop karena dianggap sebagai dokumen penting dan membawanya ke Sekretariat Nasional Prabowo-Sandi di Boyolali.
Setelah amplop dibawa ke meja hakim, kemudian dipanggil masing-masing perwakilan pemohon dan termohon terkait untuk maju ke melihat amplop tersebut.
Kemudian, hakim meminta KPU sebagai pihak termohon membawa bukti pembanding dalam persidangan berikutnya.
Baca: BPOM Temukan 530 Jenis Makanan Tanpa Izin Edar
Setelah diperiksa, komisioner KPU, Ali Nurdin, menemukan keanehan pada amplop di mana terdapat kesamaan bentuk tulisan di bagian luar amplop. Padahal, amplop yang ditemukan berasal dari TPS yang berbeda.
"Yang mulia, kami minta izin kalau boleh untuk foto amplop yang lain. Sebab, kami temukan tulisan tangan di amplop sama dan identik," kata Ali Nurdin.
6. Materi pelatihan
Saksi dari caleg Partai Bulan Bintang (PBB), Hairul Anas Suadi, mengaku pernah ikut serta dalam training for trainer atau pelatihan yang diadakan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maruf.
Pelatihan tersebut diberikan kepada saksi dan calon pelatih saksi dalam pemungutan suara. Anas mengaku salah satu pemateri dalam pelatihan adalah Wakil Ketua TKN Moeldoko.
Dalam materi yang disebutkan Moeldoko, lanjut Anas, terdapat istilah kecurangan bagian dari demokrasi.
Saat ditanya hakim terkait istilah itu merupakan ajaran berlaku curang, saksi mengaku tak diajari untuk berperilaku curang ketika pelatihan tersebut.
Menurut Anas, seolah-olah istilah itu menegaskan bahwa kecurangan merupakan sesuatu yang wajar dalam demokrasi. (Warta Kota/Kompas.com)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.