Eks Menko Perekonomian Era Megawati Irit Bicara Usai Diperiksa KPK
"Tanya KPK saja," jawab Dorojatun yang langsung menuju mobilnya yang terparkir di depan gedung KPK.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Menko Perekonomian periode 2001-2004 atau di era Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri, Prof. Dorojatun Kuntjoro Jakti, telah merampungkan pemeriksaannya di KPK.
Guru Besar Emiritus FE-UI itu memberi kesaksian untuk kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dorojatun diperiksa untuk tersangka pemegang saham pengendali BDNI, Sjamsul Nursalim. Dorojatun yang ditemani stafnya tak banyak bicara selepas menjalani pemeriksaan hari ini.
"Tanya KPK saja lah. Pokoknya apa, selesai, sebagai saksi saja," ucap Dorojatun di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (4/7/2019).
"Tahu soal penerbitan SKL enggak, pak?" tanya pewarta.
"Tanya KPK saja," jawab Dorojatun yang langsung menuju mobilnya yang terparkir di depan gedung KPK.
Baca: Kasus BLBI, Eks Deputi BPPN Ditelisik KPK Terkait Perannya Semasa Menjabat
Diketahui, hari ini merupakan penjadwalan ulang pemeriksaan Dorojatun. Sebelumnya, pada Selasa (2/7/2019) ia mangkir tanpa sebab.
Dalam kasus ini, KPK telah mengumumkan secara resmi penetapan tersangka terhadap Sjamsul Nursalim beserta istrinya, Itjih Nursalim sebagai tersangka. Keduanya dijerat terkait kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI.
Sjamsul dan Itjih disebut melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung. Sjamsul dan istrinya diduga sebagai pihak yang diperkaya sebesar Rp4,58 triliun.
Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun.
Pasalnya, saat dilakukan 'Financial Due Dilligence' (FDD) dan 'Legal Due Dilligence' (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.