KPK: Lahan Sawit Bertambah Luas Tapi Penerimaan Pajaknya Malah Turun
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritisi pendapatan pajak yang bersumber dari bisnis kelapa sawit.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritisi pendapatan pajak yang bersumber dari bisnis kelapa sawit.
Menurut Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, terdapat tindakan mengeksploitasi sumber daya alam yang ternyata tidak sebanding dengan penerimaan negara.
"Pajak dari sawit bukannya meningkat malah menjadi menurun. Ketika apa? Ketika lahan sawit kita bertambah luas," ujar Laode di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (16/7/2019).
Namun, Laode tidak menjelaskan rinci angka potensi pajak dari sektor sawit yang menguap.
Baca: Keponakan Prabowo Cabut Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Optimis Menang di MK
Baca: 3 Alasan Setya Novanto Kembali Menghuni Lapas Sukamiskin Usai Mendekam di Rutan Gunung Sindur
Baca: Jusuf Kalla Dukung Jokowi Pilih Menteri yang Berani Ambil Keputusan
Baca: TKN Berharap Amien Rais Cs Jadi Oposisi yang Punya Niat Menyejahterakan Rakyat
Namun, ia mencatat, 40 persen perusahaan sawit diduga tidak membayar pajak sesuai ketentuan.
"Tapi, jumlah berapa seharusnya, itu belum ada. Kami sudah sampaikan ini ke Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan. Coba lihat pada 2018 itu pembayar pajak terbesar siapa? Enggak ada itu dari sawit. Yang ada, banyak BUMN itu pembayar pajak terbesar," tandasnya.
Menurut keterangannya, KPK bakal mendalami potensi pajak dari sektor sawit yang diduga menguap.
Laode juga mengatakan sektor sumber daya alam sering menjadi ajak praktik nakal pengusaha.
Karena itu, katanya, KPK menaruh perhatian terhadap pengelolaan sektor sumber daya alam.
"Karena dia paling banyak korupsi, karena di setiap sektor yang banyak uang, di situ ada potensi korupsi," tegas Laode.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar perusahaan sawit yang membandel diberi sanksi denda atau penalti.
Ucapan Luhut itu merespons data Bank Dunia yang menyebut 80 persen lebih lahan sawit Indonesia bermasalah.
“80 persen lebih dari (lahan) sawit Indonesia, dari laporan World Bank itu, bermasalah semuanya. Tidak ada (kebun) plasmanya. Tidak memperhatikan lingkungan," ujar Luhut.
Karena itu, Luhut mengusulkan perusahaan pemilik lahan sawit bermasalah dikenai denda agar proses hukumnya dapat cepat diselesaikan.
"Sekarang mau diapakan dosa masa lalu itu. Kalau usulan saya, kita penalti saja, supaya habis hukumannya,” kata Luhut.
Tergerus regulasi
Beberapa negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia mulai menerapkan regulasi yang menghambat komoditas ini. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan ini menjadi penyebab melemahnya ekspor kelapa sawit Indonesia.
Pada April 2019 ekspor minyak sawit Indonesia secara total (CPO dan turunan, olechemical dan biodiesel) mengalami penurunan 18% dibandingkan bulan sebelumnya. Padahal pada bulan Maret, ekpor minyak sawit mencapai dari 2,96 juta ton.
Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gapki mengatakan, pada Mei 2019 total ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 2,79 juta ton atau naik 14% dibandingkan dengan total ekspor pada bulan sebelumnya. "Walaupun kinerja ekspor mulai merangkak naik, tetapi angka ini masih di bawah ekspektasi," ujarnya dalam siaran pers, Senin (15/7).
Sementara itu, total ekspor khusus CPO dan turunannya (tidak termasuk oleochemical dan biodiesel) pada April 2019 menurun 27% menjadi 2,01 juta ton dari bulan sebelumnya 2,76 juta ton. Pada Mei, total ekspor tercatat mencapai 2,40 juta ton atau meningkat 18% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Mukti mengatakan, melemahnya pasar ekspor minyak sawit Indonesia disebabkan beberapa negara tujuan utama ekspor memberlakukan regulasi yang menghambat perdangan.
Contohnya India yang menaikkan tarif bea masuk minyak sawit sampai pada batas maksimum. India sebagai pasar minyak kelapa sawit Indonesia kini mulai didominasi oleh Malaysia.
Malaysia sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua menghadapi regulasi India dengan memanfaatkan perjanjian dagang berupa Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA) yang telah ditandatangani sejak tahun 2011 dengan perundingan lanjutan di Free Trade Agreement menghasilkan diskon bea masuk impor refined products yang lebih rendah dibandingkan bea masuk yang dikenakan kepada Indonesia. Tarif bea masuk refined product dari Malaysia 45% dari tarif berlaku 54%.
Melihat hal ini, pemerintah Indonesia diharapkan dapat segera mengakselerasi kerja sama ekonomi dengan India untuk pemberlakuan tarif impor yang sama, sehingga Indonesia dapat berkompetensi di pasar India.
Selain itu, sejak negara-negara di Uni Eropa menerapkanDelegated Act RED II Maret lalu, ekpor minyak sawit ke benua tersebut turut melemah. Tidak dapat dipungkiri, kebijakan tersebut memberikan sentimen negatif terhadap produk minyak sawit Indonesia.
GAPKI mencatatkan, pada April 2019 ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia tercatat menurun 37% menjadi 315 ribu ton dari sebelumnya 298,24 ribu ton. Sementara pada Mei kembali turun 4% menjadi 302,16 ribu ton dibandingkan bulan April.
Pasar utama ekspor lain yang juga mengalami dinamika adalah China. Tercatat oleh GAPKI, pada April terjadi kenaikan impor sebesar 41% menjadi 499,57 ribu ton. Kemudian pada Mei melorot 18%. Dinamikan ini juga diikuti oleh Bangladesh.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.