Soal Dokter Romi, Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas Sampaikan Empat Tuntutan
Dokter Romi dibantu sejumlah orang saat turun dari mobil dan menggunakan kursi roda untuk memasuki kantor HWDI
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Sanusi
![Soal Dokter Romi, Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas Sampaikan Empat Tuntutan](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/dokter-romi-hwdi.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dokter gigi asal Solok Selatan, Sumatera Barat, Romi Syofpa Ismae berkunjung ke kantor Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) untuk bertemu dengan sejumlah organisasi yang tergabung dalam Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas, pada Kamis (1/8/2019).
Dokter Romi tampak mengenakan baju hitam dan hijab merah muda saat tiba di lokasi.
Dokter Romi dibantu sejumlah orang saat turun dari mobil dan menggunakan kursi roda untuk memasuki kantor HWDI sekitar pukul 13.05 WIB.
Seperti diketahui kelulusan dokter Romi dalam seleksi CPNS 2018 di Kabupaten Solok Selatan dianulir melalui keputusan Bupati Solok Selatan dengan alasan tidak memenuhi syarat kesehatan.
Baca: Kabar Duka, Agung Hercules Meninggal Dunia Usai Berjuang Lawan Tumor Otak
Padahal dalam surat kesehatan yang ia lampirkan dalam pemberkasan, dokter Romi dinyatakan sehat jasmani dan rohani dengan catatan mengalami paraplegia atau lemah tungkai kaki setelah melahirkan pada tahun 2016.
Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas melalui Maulani Rotinsulu dari HWDI menyatakan apa yang dialami dokter Romi adalah sebuah diskriminasi terhadap penyandang disabilitas serta melanggar undang-undang.
“Pembatalan kelulusan tersebut melanggar Pasal 45 UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyebut pemerintah dan pemda wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier tanpa adanya diskriminasi kepada penyandang disabilitas,” ungkap Maulani Rotinsulu.
Sementara itu Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) mengatakan pemerintah memiliki cara pandang salah dalam perekrutan penyandang disabilitas untuk CPNS.
“Kuota dua persen untuk penyandang disabilitas dalam rekrutmen CPNS adalah ‘affirmative action’ dengan syarat-syarat tertentu supaya mereka memiliki hak sama. Namun pemerintah tak boleh melarang seorang disabilitas untuk mengikuti seleksi formasi umum,” jelas Yeni Rosa.
Lebih lanjut Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas menyampaikan empat tuntutan terkait kasus dokter Romi.
Yang pertama menuntut pemda Solok Selatan mencabut keputusan pembatalan kelulusan atas nama Romi Syofpa Ismae sebelum 2 Agustus 2019.
Kedua mendesak pemerintah menghapus formasi penyandang disabilitas dalam seleksi CPNS untuk seleksi tahun 2019 dan seterusnya.
Ketiga menghapus syarat jasmani dan rohani sebagai syarat dasar seleksi CPNS dan tidak mengkategorikan disabilitas sebagai penyakit yang mempengaruhi syarat sehat jasmani dan rohani.
Keempat pemerintah menyediakan akses dan akomodasi layak bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti seleksi CPNS di mana pun dan kapanpun, sehingga tak ada lagi kementerian, lembaga, dan pemda yang menolak merekrut seseorang atas alasan disabilitas.