Arwani Thomafi: MPR Selesaikan Persoalan-Persoalan Kebangsaan
Istilah Rumah Kebangsaan ini muncul sebagai harapan MPR untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan
Editor: Content Writer
Ketua Fraksi PPP MPR RI, Arwani Thomafi berharap MPR periode 2019 – 2024 menjadikan MPR sebagai Rumah Kebangsaan.
Istilah Rumah Kebangsaan ini muncul sebagai harapan MPR untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan, seperti terjadinya pembelahan masyarakat secara politik sejak Pemilu Presiden 2014.
“Akhirnya timbul kegalauan sekaligus harapan siapa yang bisa menyelesaikan persoalan itu dan menjadi tempat bersatunya semua kekuatan politik. Harapan itu ada di MPR,” ujarnya dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema “MPR Rumah Kebangsaan” di Media Center, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Jakarta, Jumat (2/8/2019). Diskusi kerjasama Pengurus Koordinatoriat Wartawan Parlemen dengan Biro Humas MPR juga menghadirkan pembicara Direktur Eksekutif CSIS, Philips J. Vermonte.
Menurut Arwani Thomafi, istilah MPR sebagai Rumah Kebangsaan tidak ditemukan dalam konstitusi dan aturan yang mendasari kelembagaan MPR itu sendiri.
Untuk menjadi sebagai Rumah Kebangsaan, lanjut Arwani, maka diperlukan pijakan konstitusionalnya, yaitu memperkuat kelembagaan MPR. Perlu ruang bagi MPR untuk mengambil keputusan dalam persoalan kebangsaan.
“Misalnya persoalan kewenangan kelembagaan antara DPR dan DPD, presiden dan DPR, atau antara MA dan MK. Persoalan atau sengketa kewenangan kelembagaan itu bisa diselesaikan di MPR,” jelasnya.
Arwani menambahkan pilar utama MPR sebagai Rumah Kebangsaan adalah musyawarah mufakat. Sebagai awal untuk mewujudkan Rumah Kebangsaan, MPR bisa memulai dengan pemilihan pimpinan MPR yang dilakukan secara musyawarah mufakat.
“Alangkah indahnya kita memulai MPR ke depan dengan musyawarah mufakat. Pimpinan partai politik duduk satu meja melakukan musyawarah mufakat untuk pimpinan MPR ini,” katanya.
Arwani berharap MPR periode 2019 – 20124 bisa menjadi Rumah Kebangsaan dengan memulai musyawarah mufakat dalam pemilihan pimpinan MPR.
“Yang penting kita (pimpinan partai politik) bisa duduk bersama melakukan musyawarah. Jadi tidak perlu lagi ada perebutan pimpinan MPR. Ayo, bisa tidak bermusyawarah untuk pimpinan MPR dan alat kelengkapan di MPR. Tapi kalau belum menjadi Rumah Kebangsaan diawali dengan perebutan, saya kira kita akan mengulangi tahun 2014 dengan pembelahan,” ujarnya.
“Saya kira kita ingin kembali pada 2009. Pemilihan pimpinan MPR dilakukan secara musyawarah mufakat. Ini dimulai dari pimpinan-pimpinan partai politik, tokoh-tokoh bangsa ini. Kalau kita memulai dengan musyawarah, maka harapan kita untuk menjadikan MPR sebagai Rumah Kebangsaan bisa terwujud,” imbuhnya.
Tidak jauh berbeda, Philips Vermonte menyebutkan MPR bisa menjadi Mercusuar Kebangsaan karena MPR sebagai payung DPR dan DPD bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan.
“Yang diperlukan adalah figur-figur pimpinan MPR sebagai orang-orang yang bisa menjadi jembatan dan melampaui kepentingan partisan partainya sendiri,” katanya.
“Ini menjadi tantangan besar. Apakah partai politik mempunyai figur-figur yang bisa diterima menjadi jembatan dan orang-orang yang bisa menyelesaikan persoalan secara lintas partai,” sambungnya.
Philips Vermonte menjelaskan tugas MPR sebagai Mercusuar Kebangsaan adalah menjadi platform atau mendorong prinsip-prinsip kewarganegaraan.
Penghormatan prinsip kewarganegaraan yaitu hak yang sama di depan hukum, punya kesempatan yang sama dalam ekonomi dan politik.
Dia memberi contoh Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. “Semestinya MPR harus tampil ke depan.
Dengan menegaskan UUD menjamin semua orang memiliki hak pilih dan memilih berdasarkan agama, ras, golongan. Selama ini Mercusuar Kebangsaan itu belum terlihat. Kita memerlukan MPR yang memberi panduan kewarganegaraan kepada masyarakat,” katanya.
Menurut Philips, jika prinsip kewarganegaraan itu dipandu oleh MPR, maka ketegangan-ketegangan selama lima tahun terakhir bisa diredam.(*)