Uang Suap Itu Disimpan dalam Lemari Pakaian
Politisi Golkar itu menerima suap dari Direktur Utama PT Ardila Insan Sejahtera (AIS) Lamidi Jimat karena membantu menagih utang ke PT Djakarta Lloyd.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa anggota Komisi VI DPR Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso, menerima suap 163.733 Dollar Amerika Serikat (AS) atau setara sekitar Rp 2,3 miliar dan uang tunai Rp 311,02 juta dari pihak PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK).
Wakil rakyat asal Partai Golkar itu menerima suap dari Direktur Utama PT Ardila Insan Sejahtera (AIS) Lamidi Jimat karena membantu menagih utang ke PT Djakarta Lloyd. Bowo juga menerima gratifikasi Rp 7,7 miliar dari sejumlah pihak.
Hal itu disampaikan JPU KPK saat membacakan surat dakwaan Bowo Sidik Pangarso di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (14/8).
Baca: Tak Pilih Jaksa Agung dari Parpol, Peneliti LIPI: Jokowi Harus Tunjukkan Independensinya
Baca: GBHN Dapat Selesaikan Masalah Negara, Bivitri: Ilusi yang Keliru
Baca: Sidarling, Metode Bu Guru Luh Made Suriwati
Jaksa KPK menyampaikan suap pertama dari PT HTK dengan total Rp2,6 miliar diberikan oleh Marketing Manager PT HTK Asty Winasti atas sepengetahuan Direktur PT HTK, Taufik Agustono.
"Bahwa Terdakwa Bowo Sidik Pangarso baik sendiri maupun bersama Indung Andriani (orang kepercayaan Bowo), menerima hadiah berupa uang sejumlah 163.733 Dollar AS dan Rp311.022.932 dari Asty Winasti," ujar jaksa KPK, Ikhsan Fernandi, saat membacakan surat dakwaan Bowo Sidik.
Pemberian uang itu dimaksudkan agar Bowo membantu PT HTK mendapatkan kerja sama pekerjaan pengangkutan dan atau sewa kapal dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (PT PILOG).
Jaksa memaparkan, PT HTK merupakan perusahaan yang mengelola kapal MT Griya Borneo. Perusahaan ini sebelumnya memiliki kontrak kerja sama dengan anak perusahaan PT Petrokimia Gresik, PT Kopindo Cipta Sejahtera (KCS) untuk pengangkutan amonia dalam jangka waktu 5 tahun.
Pada tahun 2015, dibentuk perusahaan induk yang menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bidang pupuk, yaitu PT Pupuk Indonesia Holding Company (PT PIHC). Namun selanjutnya, kontrak kerja sama PT HTK pun diputus dan pengangkutan amonia dialihkan ke anak perusahaan PT PIHC, yaitu PT PILOG.
PT HTK keberatan dan masih berkeinginan melanjutkan kontrak kerja sama tersebut. Oleh karenanya Asty diminta Taufik Agustono selaku Direktur PT HTK untuk mencari solusi.
Sekitar Oktober 2017, Asty bersama pemilik PT Tiga Macan, Steven Wang bertemu dengan Bowo Sidik di sebuah restoran di Jakarta. Di sana, Asty menyampaikan keinginannya kepada Bowo agar PT PILOG menggunakan kapal MT Griya Borneo yang dikelola PT HTK.
Sejak saat itu, Bowo melakukan sejumlah pertemuan dengan pihak PT PIHC untuk membatalkan pemutusan kontrak PT HTK dan PT KCS, agar kapal MT Griyo Borneo bisa digunakan kembali.
Bowo juga beberapa kali bertemu dengan Dirut PT Pupuk Indonesia Aas Sadikin Idat, Direktur Pemasaran PT Pupuk Indonesia Achmad Tossin Sutawikara dan Dirut PT PILOG Ahmadi Hasan. Bowo mendorong agar kerja sama sewa kapal PT HTK dan PT PILOG dilanjutkan.
Kedua pihak perusahaan pun setuju. Hingga pada akhirnya, Ahmadi menandatangani nota kesepahaman dengan Direktur PT HTK Taufik Agustono. Nota itu pada intinya menyebutkan, PT PILOG akan menyewa kapal MT Griya Borneo milik PT HTK. Sebaliknya, PT HTK akan menyewa kapal MT Pupuk Indonesia milik PT PILOG.
Menurut jaksa, Bowo meminta commitment fee atas realisasi perjanjian tersebut. Atas perintah Direktur PT HTK, Taufik Agustono, Asty memberikan uang ke Bowo secara bertahap ke Bowo Sidik.
Suap kedua diterima Bowo Sidik dari Direktur Utama PT Ardila Insan Sejahtera (AIS) Lamidi Jimat. Penerimaan uang tersebut karena Bowo telah membantu menagihkan pembayaran utang ke PT Djakarta Lloyd dan agar PT Ardila Insan Sejahtera mendapatkan pekerjaan Penyediaan Bahan Bakar Minyak jenis Marine Fuel Oil (MFO) untuk kapal-kapal PT Djakarta Lloyd.
Berawal dari Lamidi Jimat meminta bantuan Bowo terkait adanya permasalahan pembayaran utang yang belum diselesaikan oleh PT Djakarta Lloyd kepada PT AIS sebesar Rp2 Miliar.
Bowo menyanggupi memberikan bantuan dan selanjutnya melakukan pertemuan dengan Dirut PT Djakarta Lloyd.
Atas arahan Bowo Sidik, Lamidi Jimat menyerahkan data-data tagihan atau invoice PT AIS dengan PT Djakarta Lloyd dan uang sejumlah Rp 50 juta kepada terdakwa yang diterima terdakwa melalui sopir Bowo, sebagai uang perkenalan.
Pada 24 September 2018, Bowo bertemu dengan Lamidi Jimat untuk menerima uang Rp 50 juta yang kemudian mengatakan akan memberikan lagi jika sudah ada pencairan tagihan/invoice dari PT Djakarta Lloyd. Selanjutnya, Bowo menggunakan uang pemberian tersebut untuk kepentingan pencalegan terdakwa di dapil Jawa Tengah II.
Bahwa setelah PT AIS mendapatkan beberapa kali pekerjaan penyediaan BBM jenis MFO (Marine Fuel Oil) untuk kapalkapal PT Djakarta Lloyd, maka selanjutnya Bowo menerima uang secara bertahap.
Secara total, Bowo menerima suap Rp 300 juta dari Direktur Utama PT AIS, Lamidi Jimat. Sebagian dari uang itu juga digunakan untuk kampanye Bowo, misalnya, Rp 20 juta untuk membayar uang muka pemesanan kaus kampanye dan Rp 80 juta untuk membayar sewa rumah yang dijadikan posko pemenangannya di Demak, Jawa Tengah.
Atas perbuatannya, Bowo Sidik didakwa melanggar Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUH-Pidana.
Simpan Rp7,7 M di Lemari Pakaian
Adapun penerimaan gratifikasi dengan total Rp7,7 miliar dilakukan Bowo Sidik pada kurun 2016-2017 dari empat sumber terkait pengurusan anggaran di DPR hingga Munas Partai Golkar.
"Terdakwa telah melakukan serangkaian perbuatan yang masing-masing dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yaitu telah menerima gratifikasi," kata jaksa KPK.
Penerimaan pertama pada awal 2016, Bowo menerima uang sejumlah 250 ribu Dolar Singapura dalam jabatan anggota Badan Anggaran DPR yang mengusulkan Kabupaten Kepulauan Meranti mendapatkan DAK (Dana Alokasi Khusus) fisik APBN 2016;
Pada tahun yang sama, Bowo juga menerima uang tunai sejumlah 50 ribu Dollar Singapura, saat Bowo mengikuti acara Munas Partai Golkar di Denpasar, Bali, dengan agenda pemilihan ketua umum Partai Golkar periode 2016-2019;
Selanjutnya, pada 26 Juli 2017, Bowo menerima uang tunai sejumlah 200 ribu Dollar Singapura dalam kedudukannya selaku Wakil ketua Komisi VI DPR yang sedang membahas Peraturan Menteri Perdagangan tentang Gula Rafinasi (Perdagangan Gula Kristal Rafinasi melalui Pasar Lelang Komoditas.
Berikutnya pada 22 Agustus 2017, Bowo menerima uang sejumlah 200 ribu Dollar Singapura di Restoran Angus House Plaza Senayan, Jakarta, dalam kedudukannya selaku Wakil Ketua Komisi VI DPR yang bermitra dengan PT PLN.
Uang hasil penerimaan gratifikasi itu dikumpulkan oleh Bowo Sidik. Dia sengaja menyimpan uang-uang tersebut dalam bentuk tunai di lemari pakaian di rumahnya, di Cilandak Timur, Jakarta Selatan.
"Terdakwa menyimpan uang-uang yang diterimanya tersebut total berjumlah 700 ribu Dollar Singapura dalam lemari pakaian kamar pribadinya yang beralamat Jalan Bakti, Kavling 2, Cilandak Timur, Jakarta Selatan," ujar jaksa.
Selain itu, jaksa menyebut Bowo menerima uang Rp 600 juta di Plaza Senayan dan Cilandak Town, Jakarta. Uang tersebut diterima dalam membahas program pengembangan pasar dari Kementerian Perdagangan untuk Tahun Anggaran 2017. Uang tersebut digunakan Bowo Sidik untuk keperluan pribadi.
Namun, dalam dakwaan penerimaan-penerimaan gratifikasi yang mencapai Rp 7,7 miliar ini, pihak jaksa KPK tidak menyebutkan detail siapa pemberinya.
Jaksa mengungkapkan, uang hasil gratifikasi itu ditukarkan ke mata uang rupiah dalam bentuk pecahan Rp 20 ribu. Uang pecahan itu disimpan di dalam amplop dan disimpan untuk persiapan pencalonan Bowo Sidik dalam Pemilihan Legislatif 2019.
Bowo Sidik meminta bantuan Ayi Paryana untuk menukarkan uang Dollar Singapura hasil gratifikasi ke dalam bentuk mata uang rupiah. Dan selanjutnya uang hasil penukaran dikirim ke rekening Ayi Paryana. "Total penyetoran uang Dolar Singapura yang disetorkan terdakwa kepada Ayi Paryana adalah sebesar 693.000 Dolar Singapura dengan konversi Rupiah menjadi Rp7.189.011.000,00," ungkap JPU pada KPK.
Selain itu, Bowo Sidik mengirimkan uang yang diterima dari PT HTK kepada Ayi Paryana dengan cara ditransfer sebesar Rp640.000.000 dan Rp200.000.000 pada 11 Maret 2019. Total uang yang disimpan di Ayi Paryana PARYANA sebesar Rp8.029.011.000,00.
Selanjutnya, Ayi Paryana menukarkan uang sebanyak Rp8.000.000.000,00 ke bentuk pecahan Rp20 ribu ke di Bank Mandiri. Selanjutnya, uang hasil penukaran itu dibawa ke Direktur PT Inersia Ampak Enginners (PT IAE), M Indung Andriani K, di kantor PT IAE di Jalan Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Perusahaan tersebut merupakan milki Bowo Sidik.
Uang pecahan Rp20 ribu disiapkan untuk kebutuhan kampanye Bowo Sidik sebagai calon anggota DPR dapil Jawa Tengah dalam Pemilu Legislatif 2019.
Pada 29 Maret 2019, akhirya pihak KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap sejumlah orang, termasuk Bowo Sidik Pangarso. Saat itu, petugas KPK menemukan uang senilai Rp8.000.300.000,00 berbentuk pecahan Rp20 ribu. Uang-uang itu dikemas dalam 400.015 amplop putih dan disimpan dalam 4.000 boks dan selanjutnya disimpan di 81 kardus dan 2 kontainer.
Jaksa KPK mendakwa Bowo Sidik Pangarso melanggar Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 65 KUHP. (tribun network/gle/coz)