Menteri ATR/BPN Sudah Diingatkan Bahaya RUU Pertanahan
Diungkapkan Darori, seluruh fraksi di Komisi IV yang antara lain membidangi pertanian dan kehutanan ini menolak disahkan RUU Pertanahan.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) /Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Jalil dingatkan akan bahaya RUU Pertanahan di kemudian hari yang berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan di bidang pertanahan, lahan, dan hutan, karena pembahasan RUU Pertanahan itu tidak melibatkan kementerien/lembaga terkait.
“Semua ini demi kebaikan Pak Menteri, sebab saya sangat memahami pasal-pasal dalam RUU Pertanahan yang berpotensi menimbulkan masalah, karena saya pernah menjadi Dirjen di Departemen Kehutanan,” ujar Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Gerindra, Darori Wonodipuro, menjawab pertanyaan pers, Sabtu (17/8) terkait prokontra RUU Pertanahan.
Darori yang pernah menjabat Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan mengungkapkan, Fraksi Gerindra seperti Fraksi Golkar, Fraksi PKB, dan sejumlah fraksi lain di DPR , juga akan menolak jika RUU ini disahkan pada periode DPR saat ini.
Baca: Tanggapan Wakil Ketua DPD RI Atas Pidato Kenegaraan Presiden RI
Diungkapkan Darori, seluruh fraksi di Komisi IV yang antara lain membidangi pertanian dan kehutanan ini menolak disahkan RUU Pertanahan.
“Sebenarnya sikap DPR yang diperlihatkan seluruh fraksi di Komisi IV sudah sangat jelas, menolak pengesahan RUU Pertanahan dan mengusulkan agar dibahas ulang dengan kementerian/lembaga terkait,” katanya.
Kepada Presiden Joko Widodo, Darori meminta gar Kepala Negara memerintahkan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) /Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Jalil agar menghentikan pembahasan RUU Pertanahan. Jika pembahasan diteruskan dan dipaksakan untuk disahkan, berpotensi menimbulkan persoalan besar menyangkut pertanahan, lahan, dan hutan, di Tanah Air.
Apalagi jika diteliti secara mendalam, pasal-pasal yang terdapat dalam RUU Pertanahan saat ini bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menarik investasi sebesar-besarnya, sebab para investor akan berpikir ulang mengingat regulasi yang saling bertabrakan.
Baca: Beda dengan Jokowi, Prabowo Isyaratkan Setuju Amandemen Kembalikan GBHN
“Begitu juga dengan keinginan Presiden untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria yang jumlahnya snagat banyak, akan sulit. Sebab justru RUU ini berpotensi menimbulkan konflik. Jadi, konflik akan bertambah dan tidak akan selesai.” Ujar Darori.
Bahas Ulang
Darori yang juga pernah menjabat Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan ini mengusulkan agar pembahasan ulang dilakukan oleh DPR hasil Pemilu 2019.
“Jalan keluarnya, duduk bersama dan semua kementerian yang terkait; baik KLHK, ESDM, Pertanian, dan juga lembaga terkait serta pihak yang berkepentingan langsung dengan RUU Ini seperti APHI, pakar kehutanan dimintai pandangannya, dan tidak seperti sekarang ini hanya Kementeri ART/BPN saja yang proaktif,” ujarnya.
Ditambahkan Darori, UU Pertanahan nanti harus melengkapi UU yang ada dan terkait yakni UU No. 41 tentang Kehutanan, UU No. 50 tentang Sumber Daya Hayati, UU No.18 tentang Pencegahan dan Perusakan Hutan, dan UU No.32 tentang Lingkungan Hidup.
“Jika kita ingin membuat UU Baru, khususnya terkait tanah/lahan, maka kelemahan keempat UU di atas harus dilengkapi, bukan sebaliknya berusaha meniadakan UU tersebut,” katanya.
Baca: Hoaks Draft Revisi UU Ketenagakerjaan di Media Sosial
Jadi, lanjut Darori, polemik mengenai RUU Pertanahan ini bisa dicarikan solusinya. “Saya punya solusi, karena saya berpengalaman bertugas menangai persoalan menyangkut pertanahan dan lahan/hutan. Karena itu mari duduk bersama, sinkronkan semua UU terkait, minta pandangan seluruh pihak terkait. Jangan berjalan sendiri,” ujarnya.
Masih terkait persoalan tanah, lahan, dan kawasan hutan, Darori juga mengungkapkan hasil investigasi yang dilakukan atas permintaan Komisi IV DPR, ada 8,7 juta hektare kawasna hutan yang digunakan untuk perkebunan oleh 770 perusahaan, kemudian ada 155 perusahaan tambang tanpa izin. Persoalan ini kan harus diselesaikan dulu karena kerugian negara yang amat besar yakni sekitar 285 triliun rupiah.(*)