Mantan Gubernur Jawa Barat Aher Mangkir, KPK Jadwal Ulang
Saat itu, dia diperiksa terkait dengan perannya ketika menjadi gubernur dalam proses perizinan Meikarta.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mangkir dari pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pria yang karib disapa Aher itu seharusnya memberikan kesaksian untuk tersangka Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Iwa Karniwa dalam kasus suap perizinan proyek Meikarta.
"Saksi tadi menghubungi KPK. Tidak bisa datang hari ini. Akan dijadwalkan ulang besok," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada pewarta, Senin (26/8/2019).
Akan tetapi, Febri tidak merinci alasan ketidakhadiran Aher.
Aher sebelumnya sudah pernah diperiksa KPK terkait Meikarta pada Rabu (9/1/2019). Saat itu, dia diperiksa terkait dengan perannya ketika menjadi gubernur dalam proses perizinan Meikarta.
Baca: Faldo Maldini Kritik Pengumuman Ibu Kota Baru : Masih Obrolan Warung Kopi
"Jadi proses perizinan ini baik yang diketahuinya terkait dengan perizinan Meikarta yang dilakukan Kabupaten Bekasi ataupun terkait dengan rekomendasi yang menjadi domain atau kewenangan dari pemerintah provinsi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Rabu (9/1/2019).
Selanjutnya KPK juga mengklarifikasi sejauh mana Aher mengetahui adanya dugaan penerimaan uang oleh beberapa pejabat di Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait kasus tersebut.
"Kami mulai menemukan beberapa data dan informasi dan bukti yang baru terkait dengan pihak lain yang diduga mendapatkan aliran dana. Di Pemprov Jabar, misalnya, ada pejabat atau sejumlah anggota DPRD Kabupaten Bekasi dan keluarga ke luar negeri. Itu sedang dialami oleh KPK," ungkap Febri.
Dalam perkara ini, pada Jumat (23/8/2019) lalu, KPK juga telah memeriksa mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar dalam perkara yang sama.
Baca: Manfaat Kedelai bagi Kesehatan: Pengatur Kadar Glukosa Darah hingga Cegah Kanker
Kala itu, Deddy Mizwar mengakui bahwa rancangan peraturan daerah (Raperda) tata ruang dari Pemkab Bekasi untuk proyek pembangunan Meikarta bermasalah.
"Kan sudah selesai (proses perizinannya). Yang 84,6 hektar sudah selesai, dan itu hak mereka. Yang jadi persoalan kan Raperda. Raperda perubahan tata ruang," ucap Deddy seusai diperiksa di Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (23/8/2019) lalu.
Diketahui dalam kasus suap Meikarta ini, KPK menetapkan Iwa Karniwa sebagai tersangka kasus suap pengurusan izin Meikarta, dalam hal ini Iwa berperan untuk memuluskan pengurusan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi (RDTR). RDTR sendiri penting untuk membangun proyek Meikarta.
Baca: Wajah Gembira Isran Noor, Ibu Kota Dipindahkan ke Kaltim
Raperda RDTR Kabupaten Bekasi itu disetujui oleh DPRD Bekasi dan dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dilakukan pembahasan.
Namun, pembahasan Raperda tingkat provinsi itu mandek. Raperda itu tidak segera dibahas oleh BKPRD, sedangkan dokumen pendukung sudah diberikan.
Untuk mengurus RDTR itu, Iwa diduga menerima uang senilai Rp900 juta dari mantan Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili.
Uang dari Neneng itu sampai ke tangan Iwa melalui sejumlah perantara seperti legislator Kabupaten Bekasi Soleman dan Anggota DPRD Jawa Barat Waras Waras Wasisto.
Baca: Alasan Baim Wong Tak Merem Lihat Pengunjung Berjemur Bugil, Kameran Tertawa: Bukan Mubazir bos?
Atas perbuatannya Iwa disangkakan melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain Iwa, KPK juga menetapkan mantan Presdir Lippo Cikarang Bartholomeus Toto sebagai tersangka. Toto diduga berperan sebagai penyuap Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin untuk memuluskan pengurusan izin pembangunan proyek Meikarta.
Toto disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.