Penasihat KPK: Tak Mungkin Saya Menasihati Orang yang Sudah Cacat Etik dalam Tugas
Saat ini, proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) sudah memasuki tahap kelima yaitu tes kesehatan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini, proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) sudah memasuki tahap kelima yaitu tes kesehatan.
Kini, hanya tersisa 20 peserta yang berkompetisi untuk memperebutkan kursi pimpinan lembaga antirasuah itu.
Penasihat KPK Mohammad Tsani Annafari, mengancam akan mundur dari jabatannya untuk periode 2017-2021 bila ada sosok yang cacat etik terpilih sebagai pimpinan KPK 2019-2023.
“Bila orang-orang yang bermasalah terpilih sebagai komisioner KPK, InsyaAllah saya akan mengundurkan diri sebagai penasihat KPK sebelum mereka dilantik,” ujar Tsani Annafari kepada pewarta, Senin (26/8/2019).
Baca: Menko Luhut Tegaskan Belum Ada Kerja Sama Antara Ping An Insurance dengan BPJS Kesehatan
Baca: Mabes Polri Ungkap Skenario Pembuat Kerusuhan Papua
Baca: Ganda Putra Indonesia Ahsan/Hendra Juara Dunia, Rekap Final Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2019
Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK pada Jumat (23/8/2019) mengumumkan 20 orang yang lolos lolos seleksi profile assesment.
Mereka terdiri atas akademisi/dosen (3 orang), advokat (1 orang), pegawai BUMN (1 orang), jaksa (3 orang), pensiunan jaksa (1 orang), hakim (1 orang), anggota Polri (4 orang), auditor (1 orang), komisioner/pegawai KPK (2 orang), PNS (2 orang), dan penasihat menteri (1 orang).
“Bagi saya, tidak mungkin saya bisa menasihati orang yang sudah saya nyatakan cacat secara etik dalam tugas KPK. Suara internal KPK penting didengar karena mereka ini yang akan merasakan langsung dampak kehadiran para pimpinan ini dalam pelaksanaan tugasnya, karena mereka akan menentukan keputusan etik,” kata Tsani.
Pimpinan yang sangat permisif dinilai Tsani akan malah memiliki masalah secara etik.
“Ingat pimpinan yang tidak patuh LHKPN tidak mungkin bisa bicara fasih tentang LHKPN, karena mereka sendiri tidak melakukannya dengan baik,” ujar Tsani.
Padahal mengingatkan penyelenggara negara untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) itu adalah bagian dari tugas pimpinan KPK ke petinggi lembaga lain.
“Jadi, Presiden harus serius memperhatikan hal ini,” katanya.
Ia pun mengaku pernah memeriksa langsung bukti-bukti pelanggaran etik para calon bermasalah tersebut.
“Saya sebagai orang yang pernah memeriksa langsung bukti-bukti pelanggaran etik tersebut bersama internal KPK menyaksikan dan meyakini bukti-bukti tersebut nyata. KPK dalam potensi masalah besar karena ada calon-calon bermasalah yang masih diloloskan meskipun telah dinyatakan KPK bermasalah secara etik,” ujar Tsani.
Namun Tsani tidak mengungkapkan dengan jelas siapa calon-calon yang dinilainya bermasalah secara etik saat bekerja di KPK tersebut.
Dari 20 orang yang lolos ke tes kesehatan pada 26 Agustus 2019 dan dilanjutkan uji publik pada 27-29 Agustus 2019, ada dua orang yang pernah bekerja di KPK.
Dua orang itu adalah mantan Deputi Penindakan KPK yang saat ini menjabat Kapolda Sumatera Selatan Firli Bahuri dan mantan Plt Direktur Penuntutan KPK yang saat ini menjadi Koordinator pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Supardi.
Pada Jumat (23/8/2019) lalu, KPK telah menyampaikan data rekam jejak para capim kepada pansel.
Data rekam jejak itu diolah berdasarkan informasi yang diterima dari masyarakat, kemudian telah dicek ke lapangan, oleh tim KPK didukung dengan data penanganan perkara di KPK, hingga pelaporan LHKPN dan gratifikasi.
Sebanyak 20 nama yang lolos hasil tes profile assessment tersebut, menurut KPK, terdapat sejumlah calon yang teridentifikasi memiliki catatan seperti tidak patuh dalam pelaporan LHKPN, diduga menerima gratifikasi, diduga melakukan perbuatan lain yang pernah menghambat kerja KPK, dan melakukan pelanggaran etik saat bekerja di KPK.
Terkait pelaporan LHKPN, dari 20 orang capim yang lolos ada 18 orang yang pernah melaporkan LHKPN sejak menjadi penyelenggara negara, sedangkan 2 orang bukan pihak yang wajib melaporkan LHKPN karena berprofesi sebagai dosen.
Kepatuhan pelaporan periodik 2018 yang wajib dilaporkan dalam rentang waktu 1 Januari-31 Maret 2019 hanya 9 orang yang lapor tepat waktu, yaitu merupakan pegawai dari unsur: KPK, Polri, Kejaksaan, BPK, mantan LPSK, Dekan dan Kementerian Keuangan.
Sebanyak 5 orang yang terlambat melaporkan merupakan pegawai dari unsur Polri, Kejaksaan, Sekretariat Kabinet, dan tidak pernah melaporkan sebanyak 2 orang yang merupakan pegawai dari unsur Polri dan karyawan BUMN.