Rekomendasi Aliansi Nasional Reformasi KUHP Untuk Pemerintah dan DPR yang Ingin Sahkan RKUHP
Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga menyampaikan tujuh catatan sebagai alasan untuk menolak pengesahan RKUHP.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Nasional Reformasi KUHP merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo dan DPR agar menghentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP.
Mereka menilai draft RKUHP tertanggal 25 Juni 2019 saat ini masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial, walaupun di satu sisi semangat Pemerintah dan DPR mengedahkan RKUHP adalah agar Indonesia punya hukum yang bukan warisan penjajah Belanda.
Mereka juga meminta Pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan basis data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, dengan pelibatan bersama seluruh pihak, lembaga terkait, dan masyarakat sipil.
Baca: Wanita Asal Jakarta yang Bakar Hidup-hidup Suami dan Anaknya di Dalam Mobil Ternyata Istri Muda
Baca: Tak Khawatir Kena Dampak Kesehatan Jarang Kenakan Pakaian Dalam, Duo Semangka Asuransikan Payudara
Hal itu disampaikan Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu sebagai perwakilan aliansi saat konferensi pers di Kantor YLBHI Jakarta Pusat pada Senin (26/8/2019).
"Terakhir, kami menolak RKUHP sekedar dijadikan pajangan 'maha karya' bagi Pemerintah dan DPR saat ini untuk dipaksakan pengesahannya," kata Erasmus.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga menyampaikan tujuh catatan sebagai alasan untuk menolak pengesahan RKUHP.
Mereka menilai, ketujuh alasan tersebut adalah ujian apakah Pemerintah dan DPR serius dalam melakukan dekolonialisasi di Indonesia.
Berikut ketujuh catatan tersebut:
Pertama, mereka menilai RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif, membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial (over-criminalization).
"Kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang tingkat kelebihan bebannya (overcrowding) sudah mencapai titik ekstrem dengan beban 205 persen per Juli 2019, kata Erasmus.
Kedua, mereka menilai RKUHP belum berpihak pada kelompok rentan, utamanya anak dan perempuan.
Menurut mereka, dengan sulitnya akses pada pencatatan perkawinan, pengaturan pasal perzinahan dan samen leven (hidup bersama di luar perkawinan yang sah) tanpa pertimbangan yang matang, berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi.
"Cita-cita melawan perkawinan anak yang selalu didengungkan Presiden Jokowi dapat dianggap omong kosong. RKUHP juga memidana mereka yang menggelandang, berpotensi memidana anak, masyarakat miskin tanpa dokumen resmi dan korban kekerasan seksual," kata Erasmus.
Ketiga, mereka menilai RKUHP mengancam program pembangunan pemerintah, utamanya program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan masyarakat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.