Eks Komisioner KPKPN Nilai Tuntutan ICW dan KPK Salah Alamat
“Ini aneh karena KPK sendiri tidak pernah merasa penting untuk memeriksa setiap LHKPN yang sudah diserahkan ke KPK,” kata Petrus Selestinus.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yakni Chairul Imam, Winarno Zen dan Petrus Selestinus menyoroti isu terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Pasalnya, LHKPN akhir-akhir ini menjadi isu yang menggema menghiasi pemberitaan media. Isu tersebut mengemuka karena ICW dan KPK menyoroti kinerja Pansel Capim KPK, yang dianggap tetap mengakomodasi peserta Capim KPK dari unsur Penyelenggara Negara (PN) yang mengabaikan kewajibannya menyerahkan LHKPN kepada KPK.
“Isu ini semakin kencang disuarakan, karena seleksi capim KPK sudah memasuki babak akhir namun beberapa PN (Penyelenggara Negara, red) yang mengikuti seleksi capim KPK, menurut KPK belum menyerahkan LHKPN atau menyerahkan LHKPN tetapi tidak secara periodik, masih tetap lolos seleksi Capim KPK,” kata Chairul Imam saat diskusi tentang LHKPN dan Seleksi Capim KPK di Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Baca: Pansel Ancam Gugurkan Calon Pimpinan KPK yang Tak Setor LHKPN
Menurut Chairul, keengganan sebagian Penyelenggara Negara menyerahkan LHKPN ke KPK, karena KPK tidak pernah melakukan pemeriksaan yakni klarifikasi dan verfikasi kebenaran isi LHKPN terhadap PN yang bersangkutan.
“Hal ini mengakibatkan sebagian besar PN berpandangan untuk apa menyerahkan LHKPN kalau hanya dijadikan berkas yang disimpan di gudang KPK,” kata Chairul.
Chairul juga menilai tuntutan ICW dan KPK agar peserta seleksi yang abai menyerahkan LHKPN kepada KPK harus dipertimbangkan dalam penetapan peserta seleksi capim KPK untuk lolos tahap berikutnya, sebetulnya salah alamat.
“Karena persoalan PN yang abai menyerahkan LHKPN menjadi domain pimpinan KPK dan atasan langsung dari PN yang berangkutan, hal ini sesuai dengan Peraturan KPK No. 7 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan LHKPN,” kata Chairul Imam, yang juga mantan Direktur Penyidikan Tipikor Kejagung dan mantan Ketua Sub Komisi Yudikatif KPKPN ini.
Sementara itu, Petrus Selestinus, Advokat Senior dan Mantan Anggota Komisioner KPKPN yang juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini, mempertanyakan, mengapa KPK baru merasa penting soal LHKPN pada saat ada PN yang menjadi peserta seleksi capim KPK tidak menyerahkan LHKPN.
“Ini aneh karena KPK sendiri tidak pernah merasa penting untuk memeriksa setiap LHKPN yang sudah diserahkan ke KPK,” kata Petrus Selestinus.
Padahal, menurut Petrus, dengan memeriksa setiap LHKPN, KPK bisa mengungkap tindak pidana korupsi melalui penelusuran asal usul harta kekayaan dalam LHKPN.
Menurut Petrus, melalui penelusuran asal usul kekayaan dalam LHKPN, maka KPK sesungguhnya mengawali sebuah proses pembuktian terbalik karena setiap pejabat wajib menerangkan asal usul seluruh kekayaan miliknya, milik istrinya dan juga anaknya dibandingkan dengan gaji apakah sebanding dengan LHKPN atau tidak.
Petrus Selestinus, yang juga Koordinator TPDI menyatakan bahwa pada satu sisi penyerahan LHKPN kepada KPK menjadi salah satu kewajiban PN, namun pada sisi yang lain kewajiban penyerahan LHKPN itu berimplikasi melahirkan kewajiban bagi KPK untuk memeriksa dan mengumumkan LHKPN itu dalam Berita Negara, agar publik mengetahuinya.
“Sikap persisten KPK meminta LHKPN bagi setiap PN tidak kompatibel dengan sikap KPK terhadap LHKPN yang sudah diterimanya. Artinya selama ini KPK tidak pernah memeriksa kekayaan setiap PN yang sudah diserahkan dalam LHKPN itu, sehingga fungsi LHKPN untuk mengungkap kejahatan KKN melalui penelusuran LHKPN nyaris tak terdengar bunyinya,” ujar Petrus Selestinus.
Karena itu, tegas Petrus Selestinus, bahwa sesungguhnya sikap KPK mempersoalkan LHKPN peserta Pansel Capim KPK pada saat seleksi berlangsung ibarat "menepuk air di dulang terpecik muka sendiri" karena selama ini justru KPK-lah yang mengabaikan kewajibannya untuk memeriksa kebenaran LHKPN.
Pemeriksaan LHKPN inilah yang paling ditakuti oleh para PN karena ada kemungkinan KPK bisa mengungkap dugaan korupsi melalui penelusuran kebenaran LHKPN itu. Artinya melalui metode penelusuran LHKPN, KPK bisa mengungkap kejahatan korupsi dan pencucian uang seorang PN.
Winarno Zen, salah satu pembicara yang juga Mantan Komisioner KPKPN, menegaskan bahwa di mata sebagian PN, LHKPN itu sebuah momok yang menakutkan, karena PN tidak hanya wajib membuat LHKPN tetapi juga wajib bersedia untuk diperiksa dan menjelaskan tentang asal usul harta kekayaan miliknya, milik istri dan milik anaknya serta berapa nilai jual saat memperoleh harta-harta dimaksud.
“Ini sebetulnya sebuah sistim pembuktian terbalik yang paling menakutkan bahkan mengerikan bagi PN. Namun anehnya selama ini KPK justru menjadikan LHKPN sebagai tumpukan-tumpukan kertas yang tidak bernilai tanpa pertanggungjawaban apapun,” ujar Winarno.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.