Ahli Hukum Sebut Audit Investigasi BPK Tetap Harus Dikonfirmasi Auditee
Pantja menyoroti perkataan I Nyoman Wara yang mengatakan dirinya tak perlu melakukan konfirmasi kepada auditee
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum senior I Gde Pantja Astawa mengkritisi pernyataan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) I Nyoman Wara di depan panel seleksi Capim KPK.
Pantja menyoroti perkataan I Nyoman Wara yang mengatakan dirinya tak perlu melakukan konfirmasi kepada auditee dalam melaksanakan tugas audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Berdasarkan asas asersi, auditor BPK harus mengkonfirmasi pihak yang diperiksa (auditee) dalam pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang antara lain dalam bentuk pemeriksaan investigatif,” tegas Guru Besar Hukum Administrasi Negara Unpad itu kepada media di Jakarta, Kamis kemarin.
Pernyataan I Nyoman Wara tersebut dinilai Pantja Astawa bertentangan dengan ketentuan UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK dan Peraturan BPK No. 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).
Baca: Tamu Undangan Antre Foto Bareng dengan Bule Cantik yang Nikahi Petugas PPSU DKI
Baca: Diamuk Nikita Mirzani di Hotman Paris Show, Elza Syarief Tak Takut: Saya Karateka Ban Dua
Pantja Astawa, yang juga mantan anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK, menegaskan bahwa dalam suatu pemeriksaan itu sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur.
“Pertama, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK. Kedua, harus memperhatikan dan menjadikan SPKN sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan. Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip, yaitu asas asersi. Asas yang mewajibkan auditor memeriksa pihak yang diperiksa. Yang diperiksa harus dikonfirmasi apapun jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK".
"Maksudnya, agar pihak yang diperiksa memiliki kesempatan untuk mengkaji, menelaah, dan membela diri. Asas ini mutlak alias tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apapun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPK. Ada ketentuannya. Asas asersi ini mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (5) UU BPK".
Adapun isi Pasal 6 Ayat (5): Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
"Jadi kalau 3 hal mendasar ini sudah ditempuh, saya katakan itulah LHP yang sah secara hukum. Kalau asas asersi ini tidak dipenuhi, saya berani katakan LHP dinyatakan batal demi hukum. Kenapa? Karena norma UU menentukan demikian," tegasnya.
Sebelumnya, I Nyoman Wara yang juga salah satu Capim KPK menyatakan bahwa audit BPK 2017 terkait BLBI dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara. Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp4,58 triliun.
Padahal audit BPK sebelumnya, yakni pada 2002 dan 2006, tidak menyatakan adanya kerugian negara. Bahkan dalam audit BPK tahun 2006, dikatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim.
Padahal berdasarkan SPKN, audit BPK harus memperhatikan hasil audit BPK sebelumnya. Namun faktanya, dalam audit BPK 2017, I Nyoman Wara sama sekali tidak memperhatikan laporan audit BPK sebelumnya.
Nyoman menjelaskan, perbedaan hasil itu didapat lantaran pada 2002 dan 2006, BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi.
Nyoman juga mengakui dalam audit BPK 2017, ia tidak melakukan konfirmasi terhadap pihak terperiksa karena dalam audit investigasi tidak perlu meminta tanggapan pihak terperiksa. Alasannya karena audit investigatif sifatnya rahasia sehingga berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), tidak perlu dimintakan tanggapan.