Abraham Samad Buka Suara Soal Revisi UU KPK: KPK Hanya jadi Komisi Pencegahan Korupsi
Abraham Samad ikut buka suara soal revisi UU KPK yang disetujui DPR. Begini kata mantan Ketua KPK periode 2012-2015.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Whiesa Daniswara
![Abraham Samad Buka Suara Soal Revisi UU KPK: KPK Hanya jadi Komisi Pencegahan Korupsi](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/abraham-samad_20171221_155129.jpg)
Abraham Samad ikut buka suara soal revisi UU KPK yang disetujui DPR. Begini kata mantan Ketua KPK periode 2012-2015.
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad buka suara terkait UU KPK yang disetujui DPR.
Ada tiga poin yang disoroti eks Ketua KPK periode 2011-2015 yang dikhawatirkan membahayakan bagi lembaga antirasuah ini.
Hal ini disampaikan Abraham Samad lewat cuitan di akun Twitter-nya, Sabtu (7/9/2019).
Poin pertama, bila KPK berada di bawah eksekutif, maka KPK akan bekerja mengikuti program-program eksekutif.
Misalnya kementerian atau badan yang berada di bawah di bawah kekuasan eksekutif.
Baca: Saut Situmorang: Pemilihan Calon Pimpinan KPK Sebuah Proses Politik
Baca: Saut Situmorang: Revisi itu Kalau Memperkuat KPK, Bukan Memperlemah
![Mantan Ketua KPK, Abraham Samad bersama Koalisi Masyarakat Sipil serta sejumlah tokoh mendatangi kantor KPK, Jakarta, Jumat (3/5/2019).](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/mantan-ketua-kpk-abraham-samad_3.jpg)
Pada situasi ini, kata Abraham Samad, KPK akan mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tipikor.
Padahal, independensi merupakan syarat mutlak sebuah lembaga antikorupsi.
"Kalau di bawah eksekutif, status independensi itu otomatis hilang," tulis Abraham Samad.
Poin kedua yang disoroti Abraham Samad, soal urusan penyadapan.
Menurut Abraham Samad, kegiatan penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas akan melumpuhkan sistem kolektif kolegial Pimpinan KPK.
"Kolektif kolegial 5 Pimpinan KPK itu adalah bagian dari prinsip saling mengawasi," kata dia.
Baca: Mantan Plt Pimpinan KPK Indriyanto Nilai KPK Perlu Dewan Pengawas
Baca: Memprihatinkan, Abraham Samad Bilang KPK Bukan Hanya Di Ujung Tanduk, Tapi Mati Suri
Lebih lanjut, Abraham Samad menjelaskan, dalam UU KPK, pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut, sedangkan Dewan Pengawas bukan.
Ia menilai, bila izin penyadapan harus melibatkan Dewan Pengawas maka akan menyalahi hukum acara.
"Dewan Pengawas tidak punya kewenangan itu. Ini abuse," lanjut Abraham Samad.
Baca: Nasib Rancangan Revisi UU KPK Tergantung pada Presiden Jokowi
Baca: KPK Protes Tak Dilibatkan dalam Revisi UU KPK, Politisi PDIP: Ah Dia Nggak Paham. . .
Abraham Samad juga menjelaskan bagaimana alur izin penyadapan yang selama ini dilakukan KPK.
Ada banyak 'meja' yang harus dilewati saat KPK meminta izin melakukan penyadapan, yaitu kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, barulah lima pimpinan KPK.
Sistem kolektif kolegial Pimpinan KPK, kata Abraham Samad, merupakan bagian dari sistem pengawasan tersebut.
Menurutnya, tidak perlu lagi melibatkan badan lain yang semakin memperpanjang alur penyadapan karena berisiko bisa bocor.
"Tdk perlu melibatkan badan lain yg memperpanjang alur penyadapan dgn risiko bisa bocor," paparnya.
Poin ketiga yang disoroti Abraham Samad, soal kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.
Menurut Abraham Samad, bila KPK diberi wewenang SP3, sama saja dengan menyuruh KPK berkompromi dengan korupsi.
"KPK jangan disuruh berkompromi dengan kasus tipikor yang disidiknya dengan memberikan wewenang menerbitkan SP3," tulis pria kelahiran Makassar ini.
Selama ini, lanjutnya, KPK selalu berhasil mempertahankan pembuktiannya dakam setiap sidang tipikor meski tanpa kewenangan SP3.
Pasalnya, dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di KPK terhubung 'satu atap' dalam satu kedeputian yaitu Kedeputian Penindakan.
Dalam cuitan lain, Abraham Samad menulis, dengan adanya revisi UU KPK ini akan menjadikan KPK sebagai Komisi Pencegahan Korupsi.
"Dan pada akhirnya, KPK hanya menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, tidak lebih. Ini mengkhianati semangat reformasi," tulisnya.
Diketahui, seluruh fraksi di DPR setuju revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR.
Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinton Pasaribu mengatakan, rencana revisi UU KPK memang sudah menjadi pembahasan sejak 2017.
Menurut dia, semua fraksi di DPR dan pemerintah telah sepakat akan rencana itu.
"Ya itu kan sudah lama ada di Baleg. Pemerintah dan DPR kan sudah 2017 lalu menyepakati untuk dilakukan revisi terbatas terhadap UU KPK itu," ujar Masinton saat dihubungi wartawan, Rabu (4/9/2019).
Masinton mengatakan, poin revisi UU KPK saat ini tidak jauh berbeda dengan draf pada 2017 lalu.
Perubahannya menyangkut beberapa hal, antara lain terkait penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan SP3, serta status kepegawaian KPK.
Poin perubahan ini juga tidak jauh berbeda dengan rekomendasi Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK (Pansus Hak Angket KPK) terkait hasil penyelidikan terkait pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diumumkan pada 2018.
"Revisi terkait dengan penyadapan, dewan pengawas, kewenangan SP3 dan tentang pegawai KPK," kata Masinton.
Adapun substansi revisi yang disepakati Baleg menyangkut enam poin perubahan kedudukan dan kewenangan KPK.
Semua poin ini akan dibacakan saat rapat paripurna, Kamis (5/9/2019).
Berdasarkan rapat Baleg pada 3 September 2019 dengan agenda pandangan fraksi-fraksi tentang penyusunan draf revisi UU KPK ada enam poin revisi UU KPK.
Pertama, mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen.
KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.
Sementara itu, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.
Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.
Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.
Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.
Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3.
Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Poin Revisi UU KPK: Dari Penyadapan, Pembentukan Dewan Pengawas, hingga Kewenangan SP3"
(Tribunnews.com/Sri Juliati) (Kompas.com/Kristian Erdianto)