Ini Perubahan Besar Indonesia Saat BJ Habibie Menjadi Presiden, Nakhoda Penyelamat Negara
Pemberani dan pantang menyerah, dua kata itu melekat pada diri Presiden Ketiga RI, BJ Habibie.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNJOGJA.COM - Pemberani dan pantang menyerah, dua kata itu melekat pada diri Presiden Ketiga RI, BJ Habibie.
Di akhir hayatnya, Habibie yang meninggal pada Rabu (11/9/2019) di RSPAD dikenang sebagai presiden yang tak gentar melawan banyak cibiran.
Pada 21 Mei 1998, ia harus menjadi orang nomor satu di Indonesia menggantikan Presiden Soeharto yang kala itu memilih untuk mundur sebagai pemimpin.
Habibie adalah wakil dari Soeharto. Ia diminta kembali ke Indonesia pada tahun 1973 untuk mengharumkan nama bangsa di bidang teknologi.
Baca: Hormati BJ Habibie, Rakyat Indonesia Diminta Kibarkan Merah Putih Setengah Tiang 3 Hari
Sebagai presiden di masa transisi, Habibie tentu banyak mendapat cibiran.
Hegemoni 32 tahun Presiden Soeharto berkuasa membuat setiap lini pemerintah dan masyarakat sudah merasa nyaman dengan keadaan yang ada.
Sementara, Habibie adalah orang dengan pandangan egaliter dan progresif.Di tangannya, Indonesia banyak sekali memiliki perubahan, termasuk tentang tata cara pemilihan pemimpin hingga kebebasan pers.
Dua hal yang tidak dimiliki negara saat orde baru.
Ini menandakan, Habibie bukan saja cerdas di dunia kedirgantaraan.
Baca: BJ Habibie Sudah Pesan Kavling Makam, Ingin Dimakamkan di Kavling Nomor 120
Ia juga memiliki hati nurani manusia yang bertekad untuk membangkitkan negerinya.
Cerita mengenai kepemimpinan BJ Habibie saat menjadi presiden selalu menarik untuk disimak.
Hal ini dikarenakan Habibie adalah pemegang kekuasaan tertinggi ketika Indonesia sedang carut marut.
Jika mengingat sejarah, pada tahun 1998, banyak demonstrasi massa terjadi di seluruh penjuru negeri.
Tuntutan mereka hanya satu, yakni membuat Presiden Soeharto turun dari kursi presiden.
Turunnya Soeharto ini otomatis membuat tampuk kuasa kosong.
Habibie pun mengisi kursi tersebut dan mulai merombak apa yang sudah ada.
“Kepemimpinan Pak Habibie itu adalah langkah pertama bangsa Indonesia menuju reformasi. Itu tak terlupakan oleh insan pers dalam negeri,” ujar wartawan Kompas, Joseph Osdar dalam wawancaranya dengan Aiman Witjaksono di Kompas TV, Rabu (11/9/2019).
Joseph yang menjadi wartawan istana pernah meliput enam presiden.
Tak heran, ia banyak mengetahui sepak terjang kepemimpinan di Indonesia.
“Tahun tersebut juga Pak Habibie langsung menghapuskan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Ini adalah langkah berani. SIUPP itu diciptakan saat Orde Baru untuk mengontrol pers,” katanya.
Joseph mengingat, pada 1978, Harian Kompas pernah kena bredel pemerintah akibat pemberitaan demo mahasiswa menyangkut makar, penumpangan presiden, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
“Nah, setelah itu agak susah bagi kami yang ingin membuka usaha media. Tiba-tiba, Pak Habibie masuk ke pemerintahan. Jadi kontrol pemerintah terhadap pers hilang sepenuhnya,” jelas Joseph.
Tak hanya itu, setelah Habibie menjadi presiden, ia langsung mengambil langkah cepat dengan cara mendengarkan isi hati para wartawan.Di situ, Habibie tak ingin berbicara, ia hanya ingin mendengarkan.
Habibie paham, nasib negara yang kini ada di tangannya seperti kapal yang hendak karam.
Sebagai nakhoda, ia harus segera mengangkat kapal itu agar tidak tenggelam hingga dasar lautan.
Bukan hanya Joseph, ajudan Presiden Habibie, TB Hasanuddin mengakui hal yang sama.
Habibie bukan sosok sembarangan. Ia adalah nakhoda yang mengarahkan Indonesia ke situasi yang lebih baik.
“Saya selalu merasa kagum dengan beliau karena jarang sekali Pak Habibie itu meminta tolong ajudannya. Kalau bisa dilakukan, dilakukan sendiri,” ucap Hasanuddin di Kompas TV.
Ia menuturkan, sebagai ajudan pribadi Habibie, bukanlah hal yang mudah.
Pasalnya, ada banyak cibiran yang menentang keputusan Habibie.
“Pernah suatu hari ada kelompok liar yang tidak suka dengan apa yang Habibie putuskan. Mereka berniat mau menyelakakan Pak Habibie. Kami sebagai ajudan gimana caranya harus mengamankan presiden,” ungkap Hasanuddin yang merupakan lulusan Akademi Militer 1974 itu.
Hasanuddin pun harus 24 jam menjaga Habibie.
Bahkan, ketika sang presiden itu ke pasar, ia harus membuntuti agar tak ada orang yang melukainya.
“Tahu seperti itu, saya tidur di bawah kolong kasur Pak Habibie dengan senjata lengkap, untuk berjaga-jaga,” katanya mengenang masa indah.
Tak hanya cibiran, Hasanuddin pernah menerima laporan dari Intel TNI bahwa Habibie akan diracun.
“Saya sebagai ajudan memang memiliki trik khusus untuk menyelamatkan beliau, tapi melihat muka beliau itu tidak tampak raut ketakutan, berani,” paparnya
Ia pun merasa kehilangan sosok presiden bersahaja yang pernah memimpin bangsa. “Pak Habibie itu panutan saya,” tutup Hasanuddin.
( Tribunjogja.com | Bunga Kartikasari )
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Kisah Habibie saat Menjadi Presiden, Nakhoda Penyelamat Negara Indonesia, https://jogja.tribunnews.com/2019/09/11/kisah-habibie-saat-menjadi-presiden-nakhoda-penyelamat-negara-indonesia?page=all.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.