Alexander Marwata Beberkan Kesulitan KPK Selesaikan Kasus RJ Lino di Hadapan Komisi III DPR
Alexander Marwata mengungkapkan kesulitan melanjutkan status hukum RJ Lino dalam kasus dugaan korupsi pengadaan quay container crane (QCC).
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Adi Suhendi
Oleh karena itu Marwata mengakui bahwa memang ada ketidakkompakan di antara pimpinan KPK saat ini.
Hal itu diungkapkan Marwata saat menjalani uji kelayakan sebagai calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/9/2019).
“Saya sendiri tidak tahu bahwa ada konferensi pers itu jika tak diberitahu Ibu Basaria Panjaitan, setelah acara itu saya tanya Febri Diansyah (juru bicara KPK) kenapa ada acara itu dan kenapa pimpinan lain tak diberitahu.”
“Kelemahan dan kesalahan pimpinan KPK sekarang adalah tidak kompak, itu jadi persoalan dalam sistem kolektif kolegial yang diterapkan di KPK,” ungkap Marwata.
Marwata mengakui isu seputar seleksi calon pimpinan KPK dan polemik mengenai rekam jejaknya semakin memperuncing ketidakkompakan antara pimpinan KPK.
“Saya katakan dalam tiga bulan terakhir ini kami harus bersatu lagi, segala putusan harus diputuskan berlima, tak bisa satu dua pimpinan selesaikan masalah KPK. Yang tidak mau silakan keluar, itu prinsip, tegasnya.
Baca: Presiden Pimpin Proses Pemakaman BJ Habibie
Marwata secara pribadi berpendapat bahwa konferensi pers yang disampaikan Wakil Ketua KPK lainnya yakni Saut Situmorang tersebut tidak sah.
Ia menjelaskan, saat menghadapi kasus itu, tiga dari lima pimpinan KPK berpendapat kasus Irjen Firli Bahuri ditutup karena yang bersangkutan diberhentikan secara hormat dari KPK karena dibutuhkan oleh institusi asalnya yakni Polri.
“Tiga pimpinan tegas menyatakan kasus Pak Firli ditutup, lalu satu lainnya memberi catatan untuk diperhatikan. Secara kolektif kolegial kalau tiga setuju ditutup keputusan yang diambil harusnya kasus itu ditutup. Kalau ada satu yang terus jalan menurut saya tidak sah, itu menurut pendapat saya,” jelas Marwata.
Menurutnya salah satu pimpinan yang setuju kasus Firli ditutup adalah Ketua KPK Agus Rahardjo.
Marwata menjelaskan bahwa pada saat itu pimpinan KPK hingga DPP (Dewan Pertimbangan Pegawai) menerima laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik berat yang dilakukan Irjen Firli Bahuri yang menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Firli dituding melakukan pelanggaran kode etik berat dengan bertemu mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi yang pernah diperiksa sebagai saksi atas dugaan kasus suap perusahaan PT Newmont Nusa Tenggara.
Laporan itu menurut Marwata sudah sampai pada DPP KPK yang berwenang menjatuhkan putusan apakah yang dilakukan Firli melanggar kode etik atau tidak.
Marwata mengatakan mekanisme di DPP KPK memberi kesempatan kepada Firli untuk memberi keterangan berupa pengakuan atau memutuskan membela diri melalui pengadilan.