ICW: Kinerja KPK Bakal Seperti Polri dan Kejaksaan Jika Ada SP3
Lebih jauh Adnan mengatakan, syarat dalam menetapkan orang tersangka di KPK harus memiliki tiga alat bukti terlebih dahulu.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satu di antara poin dari draf revisi UU KPK adalah kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Kewenangan itu juga diinginkan oleh Presiden Joko Widodo.
Namun sikap presiden ini justru disayangkan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husono.
Dia menuturkan, kekuatan besar KPK ada pada kehati-hatiannya dalam menangani perkara korupsi. Dengan sikap demikian sangat tidak dimungkinkan KPK ceroboh dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
“Hal itu pun pernah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi saat pengujian materi terkait kewenangan SP3 di KPK,” kata Adnan kepada wartawan, Minggu (15/9/2019).
Baca: Penelitian Sebut Hoaks Rentan Disebarkan oleh Orang Berpendidikan dan Berpenghasilan Rendah
Baca: Bekas Komisioner Desak Kapolri Tarik Firli dari Kursi Ketua KPK, Ini Alasannya
Baca: Cut Meyriska Bongkar Tanda-tanda Hamil, Goda Suami Singgung Hasil Tes, Roger Danuarta Bereaksi Ini
Lebih jauh Adnan mengatakan, syarat dalam menetapkan orang tersangka di KPK harus memiliki tiga alat bukti terlebih dahulu.
Jika tersangka korupsi mengalami sakit permanen atau meninggal dunia, KPK cukup menyerahkan berkas perkaranya ke kejaksaan. Nantinya kejaksaan bisa menerbitkan SP3.
Sementara itu, jika KPK memiliki kewenangan menerbitkan SP3, Adnan khawatir kinerja lembaga antirasuah tidak hati-hati lagi atau bisa diragukan. Dia mensinyalir kinerja KPK akan sama dengan kepolisian dan kejaksaan. Banyak kasus yang jalan di tempat.
“Dengan wewenang SP3 yang dimiliki kepolisian dan kejaksaan, kasus-kasus korupsi dan pidana lain banyak yang mangkrak. Tidak jelas statusnya. Semakin tidak memberikan kepastian hukum,” ujarnya.
Adnan melanjutkan, syarat SP3 dalam KUHAP ada tiga. Yaitu, tidak ada bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana, atau tersangka meninggal dunia.
Sedangkan dalam draf Revisi UU KPK tentang SP3 yang diinginkan DPR adalah soal waktu. Apabila lewat 1 tahun perkara dalam penyidikan, maka harus diberikan SP3. Draf itu dianggap Adnan keliru.
“Dengan adanya SP3 tersebut KPK tidak dapat menangani perkara korupsi yang kompleks (aktor, kerugian negara, kejahatan bersifat lintas negara), tapi hanya bisa menangani kasus kecil, yang cepat bisa diproses,” tandasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menilai KPK perlu memiliki kewenangan bisa menerbitkan SP3 dalam menangani satu perkara.
Alasannya, dalam penegakan hukum harus juga mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Termasuk juga untuk memberikan kepastian hukum.
Kata Jokowi, jika DPR menginginkan KPK bisa mengeluarkan SP3 maksimal satu tahun, tapi sikap pemerintah berbeda. Mantan gubernur DKI Jakarta itu lebih cenderung KPK dapat mengeluarkan SP3, jika kasus yang ditangani tidak ada perkembangannya selama dua tahun.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.