Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pendemo di KPK Mengaku Dibayar, Warga Miskin Dikhawatirkan Dimanfaatkan Ciptakan Kekacauan Politik

Menurutnya, fenomena pendemo bayaran tersebut adalah pembodohan demokrasi sekaligus kemunduran demokrasi.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Pendemo di KPK Mengaku Dibayar, Warga Miskin Dikhawatirkan Dimanfaatkan Ciptakan Kekacauan Politik
Tribunnews.com/Rina Ayu
Suasana massa yang datang ke gedung merah putih, KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Sabtu sore (14/9/2019) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Utusan Open Government Partnership sekaligus Kordinator Nasional Lembaga Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah mengkhawatirkan fenomena pendemo pro revisi Undang-Undang KPK yang mengaku dibayar.

Ia juga mengaku merasa sedih karena ada kelompok masyarakat ekonomi lemah yang diperlakukan seperti itu.

Menurutnya, fenomena pendemo bayaran tersebut adalah pembodohan demokrasi sekaligus kemunduran demokrasi.

Tidak hanya itu, ia juga melihat fenomena itu adalah potret ekonomi di Indonesia yang menunjukan ketimpangan sosial yang masih tinggi.

Utusan Open Government Parternship sekaligus Direktur Publish What You Pay
Utusan Open Government Parternship sekaligus Direktur Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah usai konferensi pers Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi (AMUKK) di Jakarta Pusat pada Minggu (15/9/2019)

Hal itu disampaikannya saat konferensi pers Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi (AMUKK) di Jakarta Pusat pada Minggu (15/9/2019).

"Saya sedih kalau ada kelompok masyarakat yang dibegitukan.

Berita Rekomendasi

Artinya kan mereka butuh pendapatan. Butuh uang makan harian dan sebagainya dan itu adalah potret ekonomi kita yang timpang dan itu ada di sekitar Jakarta artinya di Ibu Kota. Itu fenomena yang menurut saya semacam pembodohan demokrasi. Orang demonstrasi tapi dibayar.

Kemudian dia tidak paham substansinya dan itu benar-benar kemunduran," kata Maryati.

Ia sendiri mengaku tidak tahu siapa yang ada dibalik para pendemo yang mengaku dibayar tersebut.

Namun menurutnya, hal itu menjelaskan bahwa ketimpangan ekonomi dapat membuat kelompok-kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah akan percaya kepada uang dan kekuasaan.

"Dan dengan ekonomi yang timpang itu berbahaya, karena mereka akan percaya kepada uang, siapa yang bayar dan kedua kepada siapa yang punya power (kekuasaan). Power itu macam-macam bisa senjata, politik, dan sebaginya," kata Maryati.

Menurutnya, dalam hal ini kualitas masyarakat dalam berpartisipasi dalam demokrasi menjadi tidak bebas karena masyarakat tidak punya pikiran orisinil, tidak dilindungi, dan berada di bawah pengaruh atau tekanan uang dan kekuasaan tersebut.

"Dan nanti bisa jadi saya juga khawatir hal-hal seperti itu menyebabkan masalah-masalah lain, konflik, politisasi agama. Kan itu sudah muncul dari adanya "kebodohan", informasi asimetrik, uang, dan sebagainya," kata Maryati.

Baca: Video Aksi Tak Terpuji di Puncak Ritual Erau, Pengendara Motor Dilempar Air Jarak Dekat Sampai Jatuh

Baca: Tes Kepribadian: Pohon dan Burung atau Wajah? Jawabanmu Akan Ungkap Kisah Cintamu

Baca: Irish Bella Sempat Pendarahan, Ammar Zoni Ungkap Indikasi Infeksi yang Dialami Eks Giorgino Abraham

Ia pun menilai fenomena tersebut adalah sebuah anomali dalam demokrasi karena kebebasan warga negara dan suara masyarakat jadi terhalangi karena bayarannya.

"Itu demokrasi yang tidak sehat. Itu tidak boleh. Kita khawatir ekonomi turun, orang-orang miskin dan pengangguran itu dimobilisasi untuk menciptakan chaos politic dan demokrasi. Tidak boleh," kata Maryati.

Untuk itu menurutnya, para tokoh perlu menyatakan pendapatnya secara tegas terkait situasi tersebut.

"Jadi saya tidak berharap itu terjadi. Jadi memang kita membutuhkan tokoh-tokoh yang punya statement tegas. Pak Jokowi harus punya statement tegas. Saya tidak mau melemahkan KPK dan sebagainya," kata Maryati.

Diberitakan sebelumnya, Arief (15) datang ke gedung merah putih, KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Sabtu sore (14/9/2019).

Pelajar ini terlihat bersama gerombolan seusianya duduk di trotoar depan KPK bersama massa bernama Corong.

Saat ditanya, Arief mengaku ikut aksi ini diajak oleh seorang temannya yang sama-sama dari Kampung Pulo, Jakarta Timur.

"Iya ikut ini, dijanjiin dibayar Gocap (50 ribu) setelah bubar," kata dia.

Dia mengaku tak begitu memahami apa yang disampaikan oleh massa.

"Ya gitu aja dukung Jokowi revisi UU," ucapnya singkat.

Sementara itu, remaja lain dari massa lainnya yang ditanyain enggan menjawab pertanyaan yang sama.

Mereka hanya menjawab mereka diajak oleh orang dewasa dalam aksi hari ini.

Namun, dari sejumlah informasi di lapangan, massa dibayar bervariasi 50 ribu hingga 300 ribu.

Tribunnews.com mencoba menanyakan hal itu pada seorang koordinator lapangan yang mengaku dari Jakarta Pusat.

Perempuan berinisial T ini membantah massa yang datang ini dibayar.

Tribunnews.com pun mencoba menanyakan hal itu pada seorang koordinator lapangan yang mengaku dari Jakarta Pusat.

Perempuan berinisial T ini membantah massa yang datang ini dibayar.

Dari pantauan Tribunews.com, selain para remaja, sejumlah anak-anak juga ikut terlibat dalam aksi hari ini untuk mendukung revisi UU KPK usulan DPR, membubarkan wadah pegawai KPK, serta meminta segera melantik Komisioner KPK yang telah dipilih oleh DPR dan Meminta Presiden segera melantik Komisioner KPK RI 2019-2023.

Padahal menurut Pasal 87 UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak-anak dilarang terlibat unjuk rasa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas