Jawaban Singkat Mahfud MD Saat Said Didu Minta Pendapat Soal Pengesahan Revisi UU KPK Cuma 13 Hari
Said Didu meminta pendapat Mahfud MD terkait pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK yang cuma butuh 13 hari. Ini jawaban Mahfud MD.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Whiesa Daniswara
Said Didu meminta pendapat Mahfud MD terkait pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK yang cuma butuh 13 hari. Ini jawaban Mahfud MD.
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD memberikan jawaban singkat pada Said Didu.
Said Didu diketahui meminta pendapat Mahfud MD terkait pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK yang cuma butuh 13 hari.
Hal ini diketahui dari cuitan Said Didu di akun Twitter, Selasa (17/9/2019).
Lewat cuitannya, mantan Sekretaris Kementerian BUMN itu menulis, pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK memakan waktu hanya 13 hari.
Pengesahan dilakukan sebelum masa jabatan DPR habis dan hanya dibahas tiga hari di pemerintah.
Selain itu, pengesahan revisi UU KPK hanya dihadiri sebanyak 80 anggota DPR.
Said Didu pun mempertanyakan kepada Mahfud MD, apakah hal ini normal?
Baca: Politikus Demokrat: Pihak yang Tidak Puas Dengan Revisi UU KPK Bisa Ajukan Gugatan Ke MK
Baca: Perjalanan Revisi UU KPK Sejak Tahun 2010 hingga Kini Disahkan, Dahulu SBY Menolak
"Mhn pemahaman dari prof @mohmahfudmd apakah pembahasan revisi RUU @KPK_RI yg hanya dibahas 13 hari, disahkan hanya 13 hari sblm mass jabatan DPR habis, hanya dibahas 3 hari di Pemerintah, dan hanya dihadiri 80 org anggota DPR termasuk normal?"
Demikian cuitan Said Didu lewat cuitan di Twitter.
Tahu namanya disebut dalam cuitan Said Didu, Mahfud MD membalas cuitan tersebut.
Guru Besar Fakultas Hukum UII itu pun hanya memberi balasan singkat berupa ajakan pada Said Didu untuk minum kopi.
"Ngopi, yoook," tulis Mahfud MD.
Bahkan Mahfud MD juga mengunggah foto dirinya bersama sang sahabat.
Diketahui, revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK akhirnya resmi disahkan DPR.
Pengesahan tersebut melalui rapat paripurna DPR RI, digelar di Ruang Paripurna Gedung Nusantara DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah.
Membuka rapat, Fahri menyebut ada 289 anggota Dewan yang tercatat hadir dan izin dari 560 anggota Dewan.
Namun demikian, berdasarkan pantauan, rapat hanya dihadiri 80 anggota DPR.
Fahri lalu mempersilakan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Agtas untuk menyampaikan laporan hasil pembahasan revisi UU KPK.
Supratman menyampaikan, 7 fraksi menyetujui revisi UU KPK secara penuh.
Sementara, 2 fraksi yaitu Gerindra dan PKS memberi catatan soal Dewan Pengawas, sementara Fraksi Demokrat belum berpendapat.
Setelah itu, agenda pengesahan dilanjutkan penyampaian tanggapan pemerintah yang diwakili oleh Menkum HAM Yasonna Laoly.
Yasonna mengungkapkan presiden menyetujui revisi UU KPK disahkan menjadi UU.
Kemudian Fahri mengajukan persetujuan apakah revisi UU KPK bisa diterima.
"Apakah pembicaraan tingkat dua, pengambilan keputusan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?" tanya Fahri.
"Setuju," jawab anggota DPR kompak.
Berikut kilas balik pengesahan UU KPK hasil revisi hingga kemudian disahkan oleh DPR yang hanya berlangsung selama 13 hari:
- 5 September, Badan Legislasi DPR Setujui RUU KPK menjadi RUU inisiatif
Pada Kamis (5/9/2019), DPR menggelar rapat paripurna yang salah satu agendanya adalah mengesahkan RUU KPK menjadi inisiatif DPR.
"Apakah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui menjadi usul DPR?" tanya Wakil Ketua DPR, Utut Adianto selaku pimpinan rapat.
Saat itu, seluruh anggota DPR yang hadir pun kompak menyatakan setuju.
Tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi.
Tak ada juga perdebatan antara parpol pendukung pemerintah dan parpol oposisi.
- 6 September 2019, Muncul Penolakan RUU KPK
Pasca RUU KPK resmi menjadi RUU inisiatif, kalangan masyarakat sipil pun mulai menyampaikan penolakan.
Sejumlah pihak menyampaikan penolakan mulai dari ICW hingga KPK sendiri.
Sebagaimana dimuat dalam website resmi KPK pada 6 September 2019, KPK menganggap terdapat 10 persoalan dalam draf RUU KPK yakni:
- Independensi KPK terancam
- Penyadapan dipersulit dan dibatasi
- Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR
- Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi
- Sumber penyelidik dan penyidik dibatas
- Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
- Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas
- Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan
- KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan
Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas
- 11 September 2019, Presiden Kirim Supres Revisi UU KPK
Presiden mengirim Surat Presiden (Surpres) agar Menteri Hukum dan HAM membahas revisi UU KPK bersama DPR.
"Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rabu (11/9/2019).
Surpres yang dikirimkan ke DPR berisi penjelasan dari Presiden bahwa ia telah menugaskan menteri untuk membahas UU KPK bersama dewan.
Bersama surpres itu, dikirim daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU KPK yang telah disusun oleh Kementerian Hukum dan HAM.
- 13 September, Jokowi Beri Pernyataan Terkait Revisi UU KPK
Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan terkait revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam pernyataannya saat jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019), Jokowi mengaku menolak sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK yang diusulkan DPR.
Secara jelas, Jokowi menyebutkan ada empat poin yang ia tolak.
Pertama, Jokowi tidak setuju jika KPK harus mendapatkan izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan.
Kedua, ia tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan keajsaan saja.
Ketiga, Jokowi tidak setuju KPk harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan.
Terakhir, ia tidak setuju pengelolaan LHKPN dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementerian/lembaga lain
- 13 September, Tiga Pimpinan KP Serahkan Mandat
Kecewa dengan bergulirnya revisi UU KPK, Pimpinan KPK menyerahkan tanggungjawab pengelolaan KPK kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo bersama Wakil Ketua Saut Situmorang dan La Ode pada Jumat (13/9/2019).
"Dengan berat hati ini Jumat 13 Desember kami menyerahkan tanggungjawab pengelolaan KPK ke bapak Presiden."
"Kami menunggu perintah apakah kemudian kami masih akan dipercaya sampai Desember."
"Kami menunggu perintah itu, mudah-mudahan kami diajak bicara Presiden," ujar dia.
16 September, DPR dan Pemerintah Sepakati 7 Poin Perubahan dalam RUU KPK
DPR dan Pemerintah menyepakati tujuh perubahan dalam revisi UU KPK.
Kesepakatan diambil dalam Rapat Kerja Pengambilan Keputusan tingkat I antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah di Ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR, Senin (16/9/2019).
Mengutip Kompas.com, Ketua Tim Panja DPR Revisi UU KPK Totok Daryanto mengatakan terdapat tujuh poin perubahan yang disepakati dalam revisi UU KPK.
Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.
Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.
Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.
Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.
- 17 September, DPR Sahkan UU KPK Hasil Revisi
Sehari setelah terjadi kesepatan antara DPR dan Pemerintah, DPR langsung mengesahkan UU KPK.
Pengesahan UU KPK hasil revisi dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI hari ini.
Pengesahan UU KPK hasil revisi diputuskan dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah
"Apakah pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat disetujui menjadi undang-undang?" tanya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
"Setuju," jawab seluruh anggota dewan yang hadir sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
(Tribunnews.com/Sri Juliati/Daryono/Chaerul Umam)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.