Pasca-UU KPK Disahkan: Aksi Protes Karyawan KPK Diwarnai Ricuh hingga Tanggapan Ahli Hukum
UU KPK yang baru telah disahkan oleh DPR. Para karyawan KPK menggelar aksi protes pada Selasa malam. Aksi itu sempat diwarnai ricuh.
Penulis: Daryono
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - DPR telah mengesahkan revisi UU KPK menjadi UU pada Selasa (18/9/2019) kemarin.
Proses pembahasan dan revisi berlangsung cepat hanya dalam waktu 12 hari.
Meski banyak penolakan terhadap revisi UU KPK, nyatanya DPR tak bergeming dan kemudian mengesahkan UU KPK baru.
Berikut rangkuman terkini pasca-UU KPK disahkan dirangkum dari Kompas.com:
1. Karyawan KPK Gelar Aksi
PascaUU KPK disahkan DPR, karyawan KPK menggelar aksi di gedung KPK pada Selasa (17/9/2019) malam.
Karyawan KPK memilih pulang agak larut untuk menggelar aksi.
Melalui disahkanya Revisi Undang-Undang KPK atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, para pegawai menganggap hilang sudah taring lembaga bentukan tahun 2002 ini untuk memberantas korupsi.
Mereka kibarkan bendera kuning sembari satu per satu keluar dari gedung.
Orasi duka cita pun dikumandangkan di depan puluhan awak media yang telah siaga dengan kamera dan alat perekamnya.
Tidak ketinggalan, replika sebuah kuburan dipajang di tengah massa aksi.
Makam itu menandakan di dalam situlah jiwa KPK berbaring lemas tidak berdaya.
Sampai pada akhirnya satu orang pegawai KPK beranikan diri berbicara kepada Ibu Pertiwi, bercerita tentang pilunya negeri ini lewat sebuah puisi.
"Kedekatan emosional karena mencintai KPK inilah yang membuat suasana sendu ketika KPK dikebiri. Hanya koruptor yang akan tertawa melihat KPK menjadi lemah seperti ini. Mereka seolah-olah menemukan kebebasan setelah 16 tahun dalam ketakutan akibat bayang-bayang OTT KPK," kata Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo dalam keterangan persnya.
"Karena entah besok KPK akan dimiliki siapa. Karena dengan revisi ini, KPK tidak seperti dulu lagi, gedung tetap ada namun nilai-nilainya tergerus," tambah dia.
2. Diwarnai Ricuh
Aksi protes para pegawai KPK sempat ricuh di halaman Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2019).
Keadaan sempat memanas ketika para pegawai KPK menyanyikan lagu Gugur Bunga sebelum menutup aksi.
Saat itu, ada teriakan dari luar kelompok pegawai KPK.
Akhirnya, nyanyian terhenti.
Dalam waktu bersamaan, ada kelompok lain yang juga berunjuk rasa di depan Gedung KPK.
Mereka mengaku mendukung revisi UU KPK.
Setelah teriakan tersebut, Kapolsek Setiabudi AKBP Tumpak berdebat dengan seorang peserta aksi dari KPK.
Sontak, peristiwa itu mencuri perhatian peserta aksi lain yang langsung menyoraki Kapolsek.
"Tugasmu mengayomi, tugasmu mengayomi. Pak polisi, pak polisi, jangan ganggu aksi kami," teriak pegawai KPK.
Setelah itu, Tumpak langsung meninggalkan lokasi dan situasi mereda.
Tumpak mengaku berusaha meredam suasana agar tidak terjadi bentrok dengan massa yang sedang menggelar aksi di luar Gedung KPK.
"Yang massa di sini kan harus diam, nah masa di sana (dalam gedung) KPK biar diam ya. biar nggak bentrok. Gitu loh. Semua aman-aman saja," kata dia saat dikonfirmasi di lokasi.
3. Ahli Hukum Khawatirkan KPK Tunduk pada Hukum
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana Bonaprapta mengkhawatirkan perubahan status kelembagaan KPK dari lembaga independen menjadi eksekutif.
Meski dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap bersifat independen, Gandjar khawatir, penyidik KPK bakal tunduk pada atasannya, yakni Presiden.
"Yang terjadi selama ini independen itu cuma judul. Semua penyidik independen, penyidik kepolisian, kejaksaan. Masalahnya si penyidik punya atasan, apakah dia bisa memisahkan pada saat menjalankan fungsi penyidikan dia tidak tunduk pada atasan?," kata Gandjar usai focus group discussion di Gedung FH UI, Depok, Jawa Barat.
Ia mengatakan, sejauh ini, proses gelar perkara di KPK berjalan secara egaliter.
Antara komisioner KPK dan penyidik dan direktur bisa saling adu argumen tanpa takut dinilai tak tunduk pada atasan.
Dengan berubahnya status kelembagaan KPK, Gandjar tidak yakin hal serupa masih akan terjadi.
Dengan berubahnya KPK menjadi bagian dari lembaga eksekutif, KPK dinilainya tidak lain menjadi perpanjangan tangan Presiden.
"Yang kita khawatirkan apa, betul-betul ini lembaga nanti jadi perpanjangan tangan Presiden, yang kita khawatirkan apa, (Presiden) pilih-pilih kasus. Iya kalau pilih-pilihnya dengan skala prioritas yang perlu dan teruji, tapi kalau pilih-pilihnya berdasarkan kepentingan politik itu bagaiamana?," sambungnya.
4. Pengamat Soroti Pasal 46 Hasil Revisi
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menyoroti Pasal 46 hasil revisi yang berbunyi, "Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan pemeriksaan tersangka dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana".
Sementara di UU KPK yang berlaku sebelumnya, Pasal 46 memiliki dua ayat.
Ayat (1) berbunyi, "Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini".
Kemudian Ayat (2) berbunyi, "Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka".
"Itu memperlihatkan bahwa tindak pidana korupsi sudah tidak lagi bersifat khusus, dia dikembalikan di delik umum. Maka dengan itu penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang ada di KPK nanti akan sangat bergantung pada KUHAP dan upaya khusus dalam pemberantasan korupsi itu sudah mulai digerus perlahan dengan Pasal 46 itu," kata Feri saat dihubungi.
Ia juga menyoroti pasal penyadapan hasil revisi yang berisiko menggagalkan penindakan KPK, khususnya operasi tangkap tangan (OTT).
Sebab, dalam revisi, penyadapan harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas dalam jangka waktu 1x24 jam.
"Jangankan 1x24 jam, 20 detik aja bocor, selesai itu operasi, kan. Jadi ini menyebabkan aksi-aksi KPK dengan OTT dan penyadapan akan gagal. Padahal pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara-cara yang cepat dan khusus kan," ujar dia.
Contoh lainnya, lanjut Feri, soal status Aparatur Sipil Negara ( ASN) yang akan melekat pada pegawai KPK.
Ia menilai status itu menimbulkan masalah ke depan.
Misalnya, pegawai KPK akan kesulitan mengawasi pimpinannya apabila melakukan penyimpangan.
"Bukan tidak mungkin pegawai KPK sendiri dirundung masalah baru, karena status mereka itu akan menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi kehidupan mereka," ungkapnya.
5. Dikhawatirkan Berdampak Buruk pada Investasi
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menganggap revisi UU KPK bisa menjadi berita buruk bagi masa depan investasi di Indonesia.
Sebab, revisi UU KPK terkesan melemahkan lembaga antirasuah itu.
"Ini berita buruk bagi masa depan investasi di Indonesia. Pelemahan KPK dalam waktu dekat akan mengirimkan sinyal buruk yang membuat para pebisnis nasional dan global ragu dengan situasi iklim usaha Indonesia," kata Dadang dalam keterangan tertulis, Selasa.
Ia menilai, poin-poin revisi yang menjadi pembahasan tersebut berisiko melemahkan KPK.
Hal itu dinilainya membuka ruang bagi koruptor untuk semakin leluasa melakukan kejahatan korupsi.
Selama ini, lanjut Dadang, KPK dipercaya kalangan pengusaha nasional dan global dalam memperbaiki iklim usaha di Indonesia yang bersih, atau bebas dari praktik korupsi.
"KPK melalui sejumlah penindakan dan pencegahannya selama sepuluh tahun terakhir sangat aktif fokus ke hal itu. Dengan posisi dan kewenangan yang lemah seperti sekarang, kerja KPK tentu tidak akan seefektif dulu lagi," ujar dia.
(Kompas.com/Dylan Aprialdo Rachman/Walda Marison)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.