Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Catatan Kritis Laode M Syarif Soal Dewan Pengawas KPK

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif khawatir kerja lembaga antirasuah ke depan tidak terkontrol

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Catatan Kritis Laode M Syarif Soal Dewan Pengawas KPK
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua KPK Laode M Syarif khawatir kerja lembaga antirasuah ke depan tidak terkontrol.

Hal tersebut seiring dengan hadirnya Undang Undang KPK hasil revisi yang sudah disahkan DPR.

Satu poin yang dikhawatirkan Laode terkait Dewan Pengawas.

Kata dia, nantinya setiap kerja penyelidikan, penyelidikan, sampai penuntutan, bakal melalui persetujuan Dewan Pengawas.

"Akan menambah rantai pekerjaan yang panjang. Dan Dewan Pengawas bukan penegak hukum. Jadi siapa yang akan mengatur kendali penegakan hukum di dalam KPK," ujar Laode di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (19/9/2019).

Baca: Kondisi Kesehatan Ivan Gunawan Drop, Kini Dirawat di Rumah Sakit

Baca: Pelatih Tottenham Hotspur Frustrasi Tanggapi Hasil Liga Champions, Harry Kane Bereaksi

Meskipun namanya pengawas, menurut Laode, struktur baru di tubuh KPK tersebut justru memiliki peran setara atau bahkan lebih tinggi dari komisioner KPK.

Berita Rekomendasi

Beberapa peran itu di antaranya memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan.

Dengan demikian, Dewan Pengawas masuk dalam proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.

"Jadi katanya ini supaya ingin dikontrol, sekarang enggak ada yang bisa mengontrol karena sebenarnya secara teoritis Dewan Pengawas bukan penegak hukum," kata Laode.

Minta KPK dibubarkan

Kepada Tribunnews.com, Ray Rangkuti menilai sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditiadakan setelah Undang-Undang (UU) KPK hasil revisi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (17/9/2019).

Karena tujuh poin perubahan dalam UU KPK hasil revisi itu tidak ada yang lebih mendorong penguatan lembaga antirasuah.

"Dengan desain seperti saat ini, sebaiknya KPK ditiadakan. Tujuh poin hasil UU ini, tak ada yang lebih mendorong KPK untuk lebih kuat dalam menegakan hukum bagi para koruptor," ujar Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Rabu (18/9/2019).

Memang kata dia, semua kewenangan istimewa KPK tidak dicabut. Tapi dibuat rumit, penuh birokrasi dan tumpang tindih.

Batasan kasus dua tahun dan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) juga membuat kesinambungan untuk melakukan penyidikan atas satu kasus bisa terhenti.

Dalam UU KPK hasil revisi, seseorang yang kasusnya telah ditangani sampai dua tahun tapi tak jua naik kepenuntutan punya dasar yang kuat untuk meminta kasusnya dihentikan.

Ray Rangkuti menegaskan tak jelas dasar dari aturan SP3 ini.

Baca: Begini Sindiran Anies Soal Satgas Pemadam Karhutla yang Ditolak Pemprov Riau

"Jika SP3 diberikan kepada yang telah meninggal dunia, atau mereka yang sakit yang tidak dapat lagi diharapkan sembuhnya masih dapat dipahami," jelasnya.

"Tapi SP3 karena batas waktu itu aneh bin ajaib," ujarnya.

Dengan ketentuan masa penanganan kasus hanya sampai dua tahun, potensi kasus-kasus kakap akan hilang adalah sangat besar.

"Tentu akan jadi pertanyaan seperti apa kelak kasus seperti BLBI, e-KTP, Century, SDA, dan sebagainya. Sebagian kasus itu kemungkinan dah masuk ke tahun kedua atau bahkan lebih," katanya.

Belum lagi soal izin sadap, sita dan geledah yang harus dimintakan kepada Dewan Pengawas.

"Hampir semua administrasi perizinan projustisia berada di tangan Dewas bukan dikomisioner. Lha tugasnya komisioner jadinya apa? Dan dengan begitu, maka KPK sebaiknya dibubarkan" tegasnya.

Dan dengan begitu, menurut dia, KPK sebaiknya dibubarkan. Sehingga pencegahan dan pemberantasan korupsi diserahkan kepada Kepolisian dan Kejagung.

Tentu saja, harus ada perubahan UU kepolisian dan kejaksaan.

"Selain melihat trendnya, di mana komisioner KPK mulai diisi oleh polisi atau jaksa maupun penyidik dan penyelidik, maka mengembalikan pemberantasan korupsi ini dah semestinya kembali ke kepolisian atau kejaksaan," jelasnya.

DPR Sahkan Revisi UU KPK

DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019).

"Apakah pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat disetujui menjadi undang-undang?," tanya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang.

"Setuju," jawab seluruh anggota dewan yang hadir.

Pengesahan Undang-Undang KPK ini merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perjalanan revisi ini berjalan sangat singkat.

Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.

Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 11 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan.

Kemudian, Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden sebagai tanda persetujuan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR pada 11 September 2019.

Pembahasan berlanjut pada 12 September 2019 saat perwakilan pemerintah membahasnya bersama Badan Legislasi DPR.

Hingga kemudian, pimpinan DPR menyetujui pengesahan revisi UU KPK menjadi UU KPK pada rapat paripurna, Selasa (17/9/2019).

7 Poin Revisi UU KPK

Pemerintah dan DPR telah menyepakati seluruh poin atau daftar inventaris masalah ( DIM) RUU KPK.

Terdapat tujuh poin revisi antar Panitia kerja pemerintah dan Panitia kerja DPR RI yang disepakati pada Rapat Senin malam.

Adapun ketujuh poin tersebut:

Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.

Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.

Lalu ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.

Keempat, mekanisme penerbitan SP3 oleh KPK.

Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.

Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.

Tujuh poin kesepakatan pemerintah dan DPR tersebut kemudian diterima secara utuh oleh tujuh Fraksi DPR, diantaranya Fraksi PDI, Golkar, NasDem, PKB, PPP, PAN, dan Hanura.

Dua Fraksi yakni Gerindra dan PKS menerima dengan catatan, yakni soal Dewan Pengawas KPK. Sementara itu satu Fraksi lainnya yakni Demokrat belum memberikan tanggapannya.

"Sehingga 7 fraksi menerima itu secara utuh. Jadi itulah dinamika yang terjadi dalam rapat kerja semalam, bahwa fraksi partai Gerindra dengan fraksi partai keadilan sejahtera belum bisa menerima secara utuh menyangkut revisi UU KPK ini karena berkaitan dengan mekanisme pemilihan dari dewan pengawas," ujar Supratman, Selasa, (17/9/2019). 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas