Aliansi Indonesia Cinta Keluarga Tolak Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual
Muatan dalam RUU ini dinilai sangat paradoks dengan nilai filosofis, yuridis, sosiologis, historis, dan psikologis bangsa Indonesia
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA) konsisten menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) karena memuat pasal bermasalah dan kontroversial.
Muatan dalam RUU ini dinilai sangat paradoks dengan nilai filosofis, yuridis, sosiologis, historis, dan psikologis bangsa Indonesia.
“Bagi kami, definisi RUU P-KS sendiri bermasalah secara filosofis. Itu yang selalu menjadi pijak kami mengawal RUU ini sejak 2016 hingga sekarang,” kata Ketua Umum AILA Rita Soebagio dalam keterangan pers, Jumat (20/9).
Rita juga menyesalkan dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VIII DPR RI Selasa (17/9) lalu terdapat 200 lebih daftar inventarisasi masalah (DIM), yang hingga kini belum kunjung dibahas.
Ketua Panja RUU P-KS, Marwan Dasopang, melalui keterangan di media menyatakan pembahasan UU ini hingga ketok palu hanya butuh waktu tiga hari.
Rita menilai, RUU ini penuh dengan keanehan dan anomali.
Baca: Resiko Setiap Warga Negara Alami Kekerasan Seksual Terus Meningkat kata Ketua IFLC
“Ini keanehan juga bagi kami ya, bertahun-tahun kok belum pernah dibahas sama sekali. Bagaimana bisa ada pihak yang memaksa ini disahkan, sementara belum sama sekali dibahas,” katanya.
Rita menyebut ini menunjukkan anomali RUU ini.
DPR belum mengakomodasi usulan masyarakat dan beberapa anggota Komisi VIII menyatakan pembahasan ini akan dibawa ke periode berikutnya.
“Bayangkan saja, undang-undang seperti apa dibahas selama tiga hari. Saya melihat UU ini ajaib sekali dan tidak jelas. Belum dibahas, kemudian akan diselesaikan dalam tiga hari,” katanya.
Baca: Lapor Polisi, DJ Dinar Candy Jadi Sasaran Pelecehan Seksual Pria Amerika
Maka itu, tak heran jika AILA menilai UU ini sarat dengan kepentingan pihak tertentu.
Ia tak menampik bahwa korban kekerasan dan kejahatan seksual jumlahnya cukup besar namun penting juga didalami apakah mereka tidak dapat diproses karena tidak ada UU atau justru belum ada mekanisme hukum yang maksimal.
“Kami tidak tahu (kepentingan) siapa, mewakili siapa dalam RUU ini. Tetapi ini semakin meyakinkan kami bahwa undang-undang ini bukan undang-undang yang maksimal,” ujarnya.