Fahri Hamzah Bersyukur Didemo Mahasiswa: 'Tapi Saya Bukan Generasi Totaliter'
Fahri Hamzah mengaku bersyukur saat ini dirinya yang duduk di DPR menjadi sasaran unjuk rasa mahasiswa.
Penulis: Reza Deni
Editor: Dewi Agustina
Pemimpin kan yang paling tegar dalam pergaulan, saya prinsip bergaul begitu.
Tribun: Anda dikenal memegang sikap rasional selama jadi Wakil Ketua DPR. Apakah hal itu juga terbawa di keluarga?
Fahri: Istri saya dokter, dua anak saya kuliah, sepertinya tak relevan kalau bawa isu luar ke keluarga. Saya enggak terlalu suka bawa keluarga ke dalam isu yang kami alami.
Kadang keluarga tahunya dari media, karena ruang publik. Saya komunikasi dengan keluarga tentang menghadapi kehidupan, pada anak saya, biasakan rajin baca, ibadah mengaji, yang remaja bicarakan mulai diskusi bersahabat bangun komunitas dialog dengan orang, kelola keuangan, itu urusan dengan anak.
Kalau istri tentang hakikat hubungan suami istri.
Nama saya keluar di koran saya langsung terpaksa dialog. Karena keluarga saya tak mesti menanggung apa yang saya tanggung. Itu dua hal berbeda.
Tribun: Anda dikabarkan akan membangun sebuah partai baru, Partai Gelombang Rakyat atau Partai Gelora, setelah meninggalkan Senayan. Apa yang mendorong Anda berani mengambil langkah itu dan siap melawan partai politik yang sudah mapan?
Baca: 7 Hotel Murah Dekat Malioboro Yogyakarta, Tarif Mulai Rp 60 Ribuan per Malam
Fahri: Partai politik atau parpol kan kontestasi ide, pasar ide, industri pemikiran, parpol menawarkan ide bukan uang, materi. Kalau kompetisi pada ide, kami kita berani karena banyak yang ditawarkan di tengah masyarakat.
Kami percaya menang, karena kalau kompetisi pikiran, jangan ada yang merasa ketakutan tersaingi, kalah, atau tersakiti, ini hanya kontestasi pikiran dan ide.
Jangan-jangan nanti idenya ketemu di tengah jalan dan bisa bersamaan, why not?
Tribun: Tapi, mengapa Anda harus membangun partai baru dibandingkan bergabung dengan parpol yang mapan?
Fahri: Saya sudah coba islah dengan PKS, (pimpinan PKS) enggak mau. Kritik saya pada PKS karena dia tidak menonjolkan pikiran, tapi perasaan pimpinan.
Kalau sudah bawa perasaan pimpinan dan enggak boleh diganggu, itu yang saya tentang.
Pada saat islah mereka enggak mau, enggak baik katanya. Ketemu saya saja mereka jadi enggak berani. Kata mereka, menjaga perasaan dan muka ustaz. Apa urusan dengan jaga muka? Ini saya tidak setuju.
Saya diajak teman-teman partai lain. Tapi, mereka tidak bisa serta-merta menerima perubahan nilai.
Baca: Mantan Pimpinan KPK: Penerbitan Perppu Jangan Serampangan
Nanti kalau sudah punya partai sendiri, kalau mau buat koalisi atau konsorsium partai sebagainya, yah bolehlah tawarkan understanding sebagai kesepakatan bersama.
Namun, jangan kemudian kita lebur ke tempat lain pada saat kita bukan apa-apa, itu yang kita hindari.
Tribun: Anda dikenal publik sebagai sosok anggota DPR dan politisi yang kontroversial, bahkan hingga di pengujung menjabat anggota DPR. Apa tanggapan Anda?
Fahri: Saya ada masalah, kadang-kadang saya jarang memikirkan suka duka. Saya anggap perjuangan itu ya abjadnya begitu, konsekuensi harus diterima.
Rumusnya kalau anda mau berpengaruh, harus kontroversial. Yang paling banyak pengikutnya adalah mazhab yang kontroversial, dalam artian attract ke lebih banyak orang.
Saya tidak mau ambil itu secara personal. Apa pun saya terima, saya tidak mau ada istilah upah berkecil atau berbesar hati, biasa saja. Hadapi dengan biasa, (maka) menjadi orang biasa.
Tribun: Semasa mahasiswa Anda pernah demonstrasi, belakangan ini justru Anda selaku pimpinan DPR menjadi salah satu sasaran yang didemo oleh kelompok mahasiswa. Apa perspektif Anda soal ini?
Fahri: Kalau soal demonya itu siklus. Saya sudah mengungkapkan teorinya, setiap 20 tahun mahasiswa turun. Pasti itu. Bangsa kita itu seperti rumah dan indikatornya ada di mahasiswa.
Itulah yang disebut moral force dan itu harus dijaga. Makanya mahasiswa sendiri harus punya kewaspadaan bahwa moral force harus dijaga.
Baca: Hasil Lengkap Skor Bola Pekan Ini: Kuatnya Tim Besar Liga Inggris, Rekor Inter di Bawah Asuhan Conte
Saya justru didemo ini istilahnya alhamdulillah saya bisa lihat kebangkitan teman-teman.
Tapi, saya bukan generasi totaliter, saya generasi dialog, dan karena itu tidak ada rasa takut bertemu dengan mahasiswa dan mahasiswa jangan salah paham juga. Jangan anggap dirinya menghadapi kita-kita ini yang tak mau dialog.
Tribun: Anda sendiri mendukung demo soal RUU KPK dan KUHP ini?
Fahri: Mendukung iya tidak apa-apa. Itu kan berarti ada yang tersumbat meskipun umurnya kalau dia betul-betul murni, dia akan berhenti pada waktunya. Enggak lama karena itu bakal hilang.
Gerakan mahasiswa itu adalah misteri, dia tidak bisa direkayasa. Saya kaget dan herannya dengan gerakan kemarin itu terlalu cepat meledaknya jadi api, terlalu cepat.
Tribun: Apa alasan Anda menilai isu tentang penolakan RUU KPK dan RKUHP tidak kuat untuk gerakan mahasiswa?
Fahri: Iya tidak kuat, karena ini gampang dipatahkan. Kalau mereka beralih dan ada isu lain, bukan saya menghasut mereka, jika mereka menemukan isu lain dan kalau isu itu diangkat, itu akan jauh lebih kuat.
Tribun: Isu apa contohnya?
Fahri: Belum kuat ini, isu ini terlalu gampang dikunyah. Saya siap masuk ke luar kampus untuk membela pikiran ini. Masa membela KUHP kolonial? Tidak masuk akal buat saya, there's something wrong.
Tribun: Apakah Anda melihat unjuk rasa mahasiswa kemarin sama dengan peristiwa 1998?
Fahri: Berbeda. Kalau tahun 1998 itu proses menemukannya itu didahului ada krisis 1997 dulu. Orang antre sembako di pinggir jalan, ada krisis moneter, pengujung tahun 1996, begitu 1997 ekonomi Asia jatuh semua.
Ditambah, parahnya lagi Pak Harto membuat kabinet salah.
Tribun: Apakah pemerintahan yang sekarang atau periode mendatang bisa melakukan kesalahan fatal?
Baca: Penyebab Ratna Sari Dewi Cium Aroma Soekarno Pada Haul Sang Proklamator, Fakta Dikuak Rachmawati
Fahri: Saya berani katakan kesalahan Pak Jokowi nanti kalau dia masih memilih kabinet yang isinya 'pembebek', asal bapak senang, Pak Jokowi bisa jatuh tengah jalan. Trust me.
Tapi, kalau dia sebagai negawaran ingin memperbaiki bangsa ini, (misalnya) dikatakan "Saya tidak punya beban, saya ingin 'gila', saya ingin betul-betul bekerja, saya tidak mau penjilat-penjilat ini yang bekerja, bukan karena afiliasi politik atau, pilih yang bisa kerja, nah selamat dia,".
Tapi kalau dia salah, mohon maaf. Kita masih hidup begini karena belum ada krisis, begitu ada krisis nanti meledak. (tribun network/reza deni saputra/coz)